::Faktor-Faktor Kemenangan Islam::
Lalu, apa saja faktor-faktor penyebab kemenangan yang harus kita pahami itu? Bagaimanakah nilai-nilai Robbani yang menunjukkan unsur-unsur kemenangan itu? Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Anfal: 45 – 47)
Sudah jelas sekali faktor-faktor kemenangan itu pada firman Allah di atas. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Tsabat,
2. dzikrullah,
3. taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
4. tidak berbantah-bantahan,
5. sabar, dan
6. ikhlash
Tsabat
“Apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu.” (QS. Al Anfal: 45). Kalaulah bukan karena keteguhan hati pasukan muslimin dalam perang Badar, dan peneguhan Allah dengan malaikat-malaikat-Nya, maka tidak akan ada kemenangan yang terwujud untuk mereka.
Keteguhan hati ini sangat penting, karena perjalanan da’wah yang kita tempuh adalah jalan yang sangat panjang, beragam tahapannya, dan banyak tantangannya. Dan ini adalah satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan kita kepada tujuan dengan janji imbalan kemuliaan dan pahala yang besar. Tidak sedikit orang-orang yang tidak teguh hatinya dalam melalui jalan ini.
Jalan da’wah secara umum terdiri dari 3 marhalah, yaitu da’wah ta’limiyah, da’wah takwiniyah, dan dakwah tanfidziyah. Tanpa keteguhan, maka akan sulit bagi kita dalam mengikuti alur tahapan da’wah ini. Di antara manusia ada saja yang terjangkiti penyakit isti’jal (ketergesaan), karena jiwanya kerdil dan tidak tahan uji. Sehingga da’wah yang sudah digariskan sedemikian rupa tahapannya, tidak berjalan dengan semestinya.
Sedangkan tantangan di jalan da’wah begitu banyak, baik itu dari eksternal maupun internal. Tidak sedikit aktivis da’wah yang “mundur” ketika melihat bahwa jalan ini sedikit orang yang mengikutinya, penentangnya banyak, penuh dengan ancaman, seperti penjara, pembunuhan, penentangan penguasa, penindasan, dsb. Dan tidak sedikit pula yang tidak teguh akibat cobaan pada diri sendiri seperti penyakit wahn, cinta dunia dan takut mati. Silau dengan harta dan kenikmatan dunia, sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari, tergoda oleh wanita, dsb, sehingga terlena, cepat jenuh, dan jauh dari aktivitas-aktivitas da’wah dan tarbiyah.
Rasulullah meneladani kepada kita sebuah sikap yang menggambarkan keteguhan. Tercatat dalam sejarah bahwa Rasulullah pernah ditawarkan oleh kaum musyrikin berbagai macam harta, pangkat, dan berbagai kenikmatan, bahkan hingga ancaman dan intimidasi, dengan harapan agar Rasulullah menghentikan aktivitas da’wahnya. Namun Rasulullah menolak semua itu. Bahkan Rasulullah SAW mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal kepada pamannya, agar seluruh dunia dapat mendengar serta merenungkannya, dan para da’i sepanjang masa di seluruh dunia dapat meneladaninya. Kata-katanya itu adalah, “Demi Allah, wahai Pamanku! Andai mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan (da’wah) ini, maka aku tidak akan meninggalkannya, sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa karena (membela)nya.” (Sirah Ibnu Hisyam: 1/240).
Ikhwah fillah, mari periksa barisan kita masing-masing. Apakah ada anggota dalam barisan kita yang tidak teguh pendirian, yang tidak tahan godaan wanita, dan terjebak dalam kungkungan dunia. Selama ada orang-orang seperti itu dalam barisan kita, camkanlah bahwa kemenangan akan sulit kita raih.
Dzikrullah
Faktor berikutnya adalah dzikrullah. “Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al Anfal: 45). Bukan hanya dzikir biasa, akan tetapi dzikir yang banyak dengan hati dan lisan. Bisa kita bayangkan, betapa menakutkannya berdzikir kepada Allah di saat berdesingnya suara peluru dan bergeraknya pasukan.
Ketika peristiwa perang Badar, Rasulullah melihat kepada sahabat-sahabatnya, ternyata jumlah mereka hanya tiga ratus lebih sedikit. Dan ketika beliau melihat kaum Musyrikin ternyata jumlah mereka seribu lebih. Maka kemudian beliau menghadap kiblat dengan mengenakan kain dan selendang lalu berkata, “Yaa… Allah, kabulkanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Yaa… Allah, bila Engkau hancurkan jamaah kaum muslimin ini, maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.” Rasulullah terus bermohon kepada Rabbnya dan berdoa kepada-Nya sehingga selendangnya terjatuh. Lalu Abu Bakar datang dan memungutnya kemudian mengenakannya kembali pada beliau dan berdiri di belakang Rasulullah lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Cukuplah permohonan Anda kepada Rabb Anda, Allah akan memperkenankan janji-Nya kepada Anda.”
Sudahkah kita berdzikir kepada Allah saat ini? Rasulullah saja berdo’a hingga sedemikian rupa, apatah lagi kita? Jika Qiyamullail kita, tilawah harian, puasa sunnah, dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hampir tidak pernah kita laksanakan, bagaimana mungkin kita mengharapkan kemenangan yang dijanjikan itu? Apalagi kalau sampai ibadah fardhu tidak dilaksanakan (na’udzubillah), bukan kemenangan yang dicapai, tapi kehinaan.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya..” (QS. Al Anfal: 46). Pertolongan Allah dan kebersamaan-Nya tergantung kepada ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak akan ada kebersamaan Allah, apabila disertai dengan perbuatan maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya, seperti dalam peristiwa perang Uhud, sehingga menyeret kaum muslimin pada saat itu kepada kegagalan.
Suatu ketika Umar berwasiat kepada Saad bin Abi Waqash Ra, “Sesungguhnya engkau akan menghadapi masalah yang besar, maka bersabarlah. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, niscaya akan terkumpul rasa takut kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa rasa takut kepada Allah itu terkumpul dalam dua hal, yaitu taat kepada Allah dan meninggalkan maksiat terhadap-Nya. Dan sesungguhnya ketaatan orang yang taat kepada-Nya ialah dengan membenci dunia dan mencintai akhirat, dan maksiat orang yang bermaksiat kepada-Nya ialah dengan mencintai dunia dan membenci akhirat. Pada saat perang Uhud, ada sebagian barisan pasukan muslimin yang silau dengan harta dunia. Sehingga kemaksiatan mereka itu menyebabkan kekalahan.
Salah satu yang diperintahkan Allah dalam hal ketaatan adalah, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisaa: 59). Tidak pernah terjadi, bahwa seseorang atau jamaah yang mengabaikan ketaatan dalam suatu perintah, lantas ia menuai sukses dan kebaikan. Contohnya pada peristiwa perang Uhud yang sangat berbeda sekali dengan perang Badar. Pada perang Uhud, ada sebagian barisan kaum muslimin yang tidak mentaati perintah untuk tetap menjaga posnya, yaitu menjaga bukit. Tapi mereka melanggar perintah – karena silau dengan godaan harta rampasan perang – sehingga seluruh pasukan kaum muslimin memperoleh kekalahan.
Dalam hal ketaatan kepada pemimpin, Rasulullah bersabda, “Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci, kecuali bila ia diperintahkan (untuk melakukan) maksiat. Bila ia diperintahkan (untuk melakukan) maksiat, maka tiada sikap mendengar dan tiada ketaatan.” (An Nawawi, Syarah Muslim, 12/226).
Hawa nafsu anggota, keinginannya, atau beberapa kondisi yang mungkin diterimanya karena melaksanakan perintah, maka semua itu tidak boleh menghalanginya dari ketaatan. Sedangkan kapasitas seorang pemimpin dalam Islam yang wajib ditaati adalah:
# Keimanan yang kuat
# Taqwa kepada Allah SWT
# Pengetahuan dan kekuatan
# Amanah dan ikhlash
# Tidak kasar, bengis, dan keras hati (akan tetapi santun, penyabar, sangat berhati-hati, berpikir sebelum bertindak, mengetahui hak-hak manusia yang ada di sekitarnya, memahami hak-hak Allah atas dirinya, dsb).
Sedangkan batas-batas ketaatan adalah:
# Selama ia melaksanakan syariat Allah sebagaimana diperintahkan-Nya
# Melakukan da’wah secara berkesinambungan, sehingga tiada seorang pun di muka bumi ini melainkan telah mendengar kalimatnya
# Memperlakukan umatnya sejalan dengan amanah yang diembannya itu.
Terkadang seseorang anggota melihat bahwa perintah yang harus ia kerjakan tidak beralasan. Meski demikian, hal itu tidak boleh menyebabkan ia tidak taat dan tidak melaksanakan perintah. Sebab biasanya pemimpin itu lebih mengetahui situasi, kondisi, motif-motif, dan berbagai kaitannya, daripada kebanyakan anggota.
Tidak berbantah-bantahan
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al Anfal: 46). Keteguhan hati, dzikrullah, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila diikuti dengan berbantah-bantahan maka yang akan terjadi adalah kegagalan dan hilangnya kekuatan.
Dalam perang Badar, Allah menampakkan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah kaum Musyrikin itu berjumlah sedikit, sehingga Allah menjaga mereka (pasukan muslimin) dari perselisihan dan berbantah-bantahan. Allah SWT berfirman, “Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepada kamu (berjumlah) banyak tentu saja kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. (QS. Al Anfal: 43).
Sedangkan dalam perang Uhud, Allah tidak memberikan kemenangan untuk kaum muslimin. Pada saat perang Uhud itu, terjadi perselisihan di barisan kaum muslimin. Ada sebagian di antara mereka yang menginginkan segera mengambil harta rampasan perang dan meninggalkan pos yang diperintahkan (padahal perang belum selesai), dan sebagian lagi bersiteguh agar tetap diposisinya sebagaimana yang telah diperintahkan. “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152). Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa akibat dari perselisihan itu adalah kekalahan yang menimpa SELURUH pasukan, bukan hanya menimpa sebagian orang-orang yang berselisih itu.
Lalu bagaimanakah sebenarnya untuk menghindari berbantah-bantahan dan perselisihan itu? Salah satu jawabannya adalah dengan Syura (musyawarah), yaitu syura yang mengikat untuk menghilangkan pertentangan di antara anggota. Allah SWT berfirman,
“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy Syura: 38).
Rasulullah sendiri melakukan musyawarah. Namun syura yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bukan dilakukan dalam hal-hal yang mempunyai nash yang makna dan kandungannya tegas, karena dalam rangka memenuhi perintah Allah dan memberi pelajaran serta bimbingan kepada kaum muslimin. Dalam amal jama’i kita, setiap anggota bebas mengemukakan pandangan dan usulan yang berguna kepada pemimpinnya, namun usulan itu bukan dalam hal-hal yang sudah menjadi kewajiban. Sebab jika sudah menjadi kewajiban, bukan usul namanya.
Dalam perang Badar, beliau meminta pendapat kaum muslimin. Seorang sahabat yang bernama Al Habab bin Mundzir mengusulkan untuk mengubah strategi berperang. Lalu Rasulullah menerima pendapat itu seraya mengatakan, “Kamu telah mengemukakan pendapat yang baik.” Rasulullah SAW juga menerima usulan para sahabatnya dalam Perang Uhud. Meskipun kaum muslimin mengalami kerugian dalam perang itu, namun Al Qur’an tetap menekankan pentingnya musyawarah itu. Dalam ayat Al Qur’an dikatakan, “Maafkanlah mereka, mintalah ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah.” (QS. Ali Imran: 159).
Jika kaum muslimin mengalami kerugian dalam sebuah pertempuran sementara syura telah menjadi prinsip di tengah masyarakat mereka, maka hal itu seribu kali lebih baik ketimbang mereka menyerahkan urusan mereka kepada penguasa zalim yang otoriter dan memperbudak. Syura adalah memiliki nilai tinggi, wajib diikuti, dan bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Syura bukan hanya berlaku bagi salah satu pihak saja, melainkan bagi seluruh anggota. Sehingga diharapkan ketika seluruhnya mentaati hasil syura, tidak akan ada lagi pertentangan dan berbantah-bantahan.
Sabar
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46). Sabar dalam menghadapi pertempuran dan sabar dalam menghadapi musibah merupakan jaminan bagi sempurnanya pertolongan yang akan diberikan Allah SWT.
Dalam peristiwa perang Badar, dikisahkan sebuah kesabaran seorang jundullah yang terlibat dalam peperangan. Ibnu Ishaq berkata dari Mu’adz bin Amr Al-jamuh, ia berkata, “Saya mendengar bahwa Abu Jahal seperti pohon besar yang dikelilingi pohon-pohon lain yang kecil.” Ia berkata, “Ketika saya mendengar hal itu ia menjadi pusat perhatian saya, maka saya pun berteguh hati untuk menerobosnya. Dan ketika saya berhasil mendekatinya, langsung saya tebas dengan pedangku hingga memutuskan setengah betis kakinya. Sungguh demi Allah, setelah kaki itu putus saya mengumpamakannya seperti biji kurma yang terlepas dari bawah batu gilingan ketika biji tersebut dipukul. Lalu anaknya yang bernama Ikrimah memukulku dengan pedangnya sampai memutuskan lenganku, dan lengan itu masih bergantungan pada kulit yang ada pada bagian bawahnya. Hal itu tidak saya rasakan karena sibuk perang. Saya bertempur pada waktu itu sehari penuh. Dan ketika saya rasakan telah terlalu sakit, tangan itu saya injak dan saya tarik sampai putus.” Ibnu Hisyam berkata, “Kemudian setelah peristiwa itu ia hidup sampai zaman Usman.”
Dalam kisah di atas, tampak sekali bahwa sabar bukan berarti pasif. Justru sabar harus senantiasa diiringi dengan ikhtiar dan mujahadah. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46)
Ikhlash
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Anfal: 47). Kemenangan tidak bisa diraih dengan kesombongan dan riya’. Allah pasti akan menolong orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan niat yang lurus, ikhlash.
Diriwayatkan dari Abu Musa Al Adyari, ia berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW lalu ia berkata, “Ada seorang yang berperang karena mengharap harta rampasan perang, ada seorang lagi yang berperang agar selalu diingat orang, dan ada seorang lagi yang berperang agar diketahui kedudukannya. Siapakah di antara mereka yang di jalan Allah?” Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itu yang tinggi, itulah yang di jalan Allah.” (Muttafaq’alaih).
Demikianlah keenam unsur ini, yaitu keteguhan hati, dzikrullah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berbantah-bantahan, sabar, dan ikhlash. Ayat (keenam unsur) inilah yang diketahui dan dipahami maknanya oleh tentara Badar. Di atas nilai Robbani inilah timbul berbagai macam strategi yang cerdas dan jitu, sehingga mereka memperoleh pertolongan Allah dan kemenangan. Ikhwah fillah, perang kini belum usai. Kemenangan bukan hanya dilihat dengan suara terbanyak saja. Tiada kata istirahat dalam da’wah hingga Allah memenangkannya atau kita syahid di jalan-Nya. “Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 111)
No comments:
Post a Comment