Sunday 24 July 2011

Read Quran Surah Al Waqiah : Tafsir oleh KH. Abdul Hasib Hasan

surah al waqiah 1-35




saya jumpa satu artikel dan dibawah sekali ditulis.....

======

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

MAKA sumbernye adalah dari =>>>Link http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/qs-al-waqiaah-part-i-1-35.html

http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/qs-al-waqiaah-part-i-1-35.html

====


lagi surah waqiah di sini

http://read-quran-online.blogspot.com/2010/09/read-quran-online-surah-al-waqiah-n.html



QS. Al-Waqi'aah (Part I : 1-35)
QS Al-Waqi'ah : 1-35





Tafsir oleh KH. Abdul Hasib Hasan

Surat ini digolongan sebagai surat-surat pendek, pada Hakikatnya temanya sama dengan surat al-Zalzalah yang penekanannya ditujukan pada suasana hari kiamat dan penyerahan buku amal perbuatan manusia, bahkan dalam tafsir ibnu katsir dikatakan bahwa salah satu makna surat al-Waqi’ah adalah az-Zalzalah. Penjelasan dalam surat Al- Waqi’ah lebih mendetail dan rinci tentang hari kiamat, hari akhir, tentang surga dan neraka. Surat al-Waqi’ah ini tergolong Surat Makkiyah, yang menjelaskan tentang keimanan kepada hari akhir.

Keimanan yang sangat penting bagi seorang mukmin dan diantara rukun Iman yang enam adalah Iman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dalam surat Al Baqarah ayat 177 disebutkan bahwan Iman kepada Allah itu digandengkan dengan Iman kepada Hari Akhir. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah dan hari Kemudian Bukan saja pengandengan itu disebutkan dalam al-Qur’an saja tetapi di dalam hadits-hadits Rasulullah Saw juga menyatakan demikian, dengan kalimat: Karenanya, keyakinan kepada akhirat ini sangat ditekankan. Dengan kata lain peningkatan ibadah itu tergantung pada keimanan kita terhadap hari akhirat. Allah Swt menyebutkan di dalam surat al-Munafiqun bahwa ketika manusia sedang dalam keadaan sakaaratul maut, seorang itu semakin ingin melakukan kebaikan dan beramal sholeh.

Sebagaimana Allah firmankan:

“ Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?” . Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan."


Dengan demikian, kita sering menjumpai bila ada peristiwa kematian, kecendrungan manusia yang masih hidup untuk beramal sholeh menjadi meningkat. Ia sadar bahwa jenazah itu perlu dibekali dengan amal shaleh. Kita saksikan ada yang dingajikan sampai berbulan-bulan, berminggu-minggu, bahkan ada sampai yang bertahun-tahun untuk orang yang meninggal tadi. Karenanya dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa kematian seseorang diantara kita ini sangat penting untuk memantapkan keyakinan dan keimanan kita terhadap akhirat. Diceritakan di zaman Rasulullah saw, ada kebiasaan umum di kalangan para sahabat ketika mereka sedang berkumpul di masjid atau dimanapun, mereka mendiskusikan hal yang paling penting dalam kehidupan mereka, yaitu mereka mendiskusikan tentang akhirat.

Suatu kali Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid dan bersamaan dengan kedatangan Nabi didapati para sahabat sedang berdiskusi. Kemudian Rasulullah Saw bergabung dan bertanya kepada mereka: ”Kalian sedang berdiskusi tentang apa?” Mereka menjawab: ”Kami sedang berdiskusi tentang hari kiamat”. Seorang shahabat yang bernama al-Harits mengungkapkan, ketika Ia ditanya oleh Rasulullah Saw: ”Apa kabarmu hari ini wahai Haris?” Ia menjawab: Iman saya hari ini mantap sekali ya Rasulullah, seakan-akan saya melihat penghuni syurga itu saling menziarahi, dan penghuni neraka itu sedang menjerit-jerit dan meminta pertolongan”. Dengan riwayat ini kita menyaksikan bahwa para shahabat Rasulullah Saw sangat peduli dan memperhatikan kehidupan ba’da dunia yaitu kehidupan akhirat. Penulis dan ulama muslim DR. Nu’aim Yassin menulis buku yang berjudul tentang keimanan, hakikatnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang membatalkan keimanan.

Dalam bukunya ia menulis bahwa ia memperhatikan al-Qur-anul Karim yang standar yang terdiri dari 604 halaman, kita sering menyebutnya dengan ’al-Qur-an Madinah’, dikatakan oleh beliau bahwasannya tidak ada satu halamanpun dalam halaman Al Qur-an yang tidak membicarakan tentang akhirat, bahkan ada dalam satu halaman yang sepenuhnya membicarakan tentang akhirat. Keutamaan surat Al Waqi’ah Pertama, dari Abdullah bin Abbas, dari Abu Bakar siddiq ra berkata:

”Ya Rasulullah engkau nampak sudah beruban, lalu rasul menyauti pertanyaan Abu Bakar itu dengan jawaban: ”yang membuat saya sampai beruban adalah surat Hud, al-Waqi’ah, al-Mursalat, An-Naba dan surat At-Takwir.” (HR. Tirmizi).


Jika dalam Surat Hud pesan intinya adalah pesan istiqomah, Surat yang lainnya itu menjelaskan tentang kiamat dan Hari Akhirat. Surat-surat inilah yang menjadi penyebab Rasulullah Saw sampai rambutnya ubanan, dengan kata lain Rasul Saw memikirkannya dengan sangat serius tentang pentingnya akhirat ini, begitu pula tentang pentingnya keimanan pada hari akhirat di hati umat, serta pentingnya istiqomah terhadap keimanan. Rasulullah Saw berpikir serius terutama tentang tema-tema akhirat, sebaliknya kita juga ubanan karena memikirkan tentang urusan dunia bukan urusan akhirat. Mungkin ada orang yang berpikir sampai ubanan tapi kualitas ubannya sangat rendah. Bisa jadi berpikirnya bukan pada hal-hal yang strategis.

Namun dengan memikirkan akhirat itu jauh lebih strategis dibanding memikirkan dunia sebagaimana diisyaratkan Allah Swt dalam surat al-Muzammil. ”Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” Dijelaskan dalam satu ayat Al Qur’an diatas ”hampir saja kamu membinasakan dirimu”, karena orang yang didakwahkan itu belum mau beriman. Sampai-sampai Rasulullah Saw sangat sedih sekali pada orang yang belum menerima dakwah karena beliau yakin betul tentang azab akhirat yang begitu dahsyat sehingga timbul rasa kasihan pada orang yang belum mau menerima dakwah itu.

Kedua, tergambar dalam dialog Utsman bin Affan dengan Abdullah bin Mas’ud. diceritakan dari Abu tayibbah katanya ”suatu ketika Abdullah ibnu Mas’ud sakit parah menjelang kematiannya, saat itu ia dijenguk oleh Utsman bin Affan, lalu Utsman bertanya: ”apa yang sedang kamu keluhkan?”, Ibnu mas’ud menjawab: ”yang sedang saya keluhkan adalah dosa-dosa saya”, Dari cerita ini dapat difahami bahwa sebenarnya bukan dia tidak merasakan sakit, tapi karena pikirannya terkonsentrasi terhadap akhirat maka yang nampak di permukaan bukan ungkapan pada sakit badannya melainkan keluhan pada dosa-dosanya. Padahal Ibnu Mas’ud adalah Shahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah Saw, dikenal sebagai sahabat yang selalu menyertai Rasulullah Saw kemanapun saja ia pergi. sampai dia katakan: ”Seandainya ada orang yang lebih tahu tentang Al Qur’an, maka saya bisa mengejarnya dengan unta, pastilah saya akan mengejarnya dengan onta.

Kemudian Utsman bertanaya lagi: ”apa yang engkau ingikan?”, Ibnu Mas’ud menjawab:”Rahmat dan kasih sayang Allah itulah yang saya inginkan”, sebab seseorang dapat memasuki sorga bukan karena amalnya, walaupun itu Rasulullah Saw, karena Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia. Lalu Utsman bertanya lagi: ”apakah perlu saya panggilkan tabib”. Ungkapan ini bukan sekedar basa-basi, apalagi Utsman yang dikenal dermawan dan sahabat senior yang sangat dekat dengan Rasul Saw. Ibnu Mas’ud melanjtkan: ”tabib itu akan semakin membuat saya bertambah sakit”, Barangkali karena Ibnu Mas’ud sudah merasakan tanda-tanda wafatnya sebentar lagi, Utsman pun bertanya lagi: ”atau saya berikan saja kamu sejumlah uang,” Abdulah bin Mas’ud menjawab: ”saya tidak menginginkan uang itu”. karena Rasulullah Saw menjelaskan bahwa tangan yang di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Padahal Ibnu Mas’ud bila dilihat kondisi ekonominya itu biasa-biasa saja, yang mapan itu adalah istrinya yang profesinya sebagai pengusaha.

Suatu kali ketika istrinya hendak membayar zakat, Rasulullah mengatakan kepada istrinya: ”kamu juga bisa membayar zakat untuk Ibnu Mas’ud”, lalu Utsman bin Affan bertanya: ”apabila kamu tidak mau menerimanya, ini bisa diberikan kepada anak-anakmu setelah sepeninggalan kamu nanti. Ibnu Mas’ud menjawab: ”apakah kamu khawatir anak-anak saya nanti akan jatuh miskin, saya telah memerintahkan pada anak-anak saya yang semuanya wanita itu agar mereka membaca surat al-Waqi’ah setiap malam karena aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: ”Barang siapa yang membaca surat al Waqi’ah setiap malam selamanya dia tidak akan jatuh miskin,” Banyak hal yang menarik dari kisah Ibnu Mas’ud ini bahwa ia yakin dengan sepenuhnya dengan perkataan Rasulullah Saw itu di atas tadi, keyakinannya kepada Rasulullah Saw dan kepada Allah itu sangatlah tinggi dan penuh tawakal. Allah Swt menerangkan dalam salah satu firmannya ”diatas itu rezeki kamu dan apa-apa yang ada untuk kamu” begitu pula diceritakan pada surat 16 ayat 120-123, 120.

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),121. (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.122. dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan Sesungguhnya Dia di akhirat benar-benar Termasuk orang-orang yang saleh.123. kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan. Kalau sejenak kita membaca kisah Maryam dalam al-Qur’an, Maryam dahulu sampai Nabi zakariya pun terheran-heran ketika mendapat rezeki yang begitu melimpah dari Allah Swt. Hal ini juga yang terjadi dengan kisah Abdullah bin Mas’ud diatas tadi dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya amatlah tinggi. Disamping dijelaskan tadi keutamaan surat al-Waqi’ah, dianjurkan pula membacanya setiap malam.

Disebutkan dalam riwayat lain dengan penambahan redaksi hadits dengan ”Barang siapa yan membaca surat al-Waqi’ah pada setiap malam” anjurannya dengan membaca tiap malam, hal ini sesuai dalam surat al-Mujammil yang mana ibadah dengan membaca Al Qur’an yang dilakukan pada waktu malam hari lebih memberikan sentuhan. Ketiga, dijelaskan dari Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah Saw melakukan shalat-shalatnya sama seperti yang kalian lakukan saat ini akan tetapi Rasulullah Saw itu lebih memendekan bacaannya ketika sholat. Yang dikatakan surat-surat pendek itu dimulai dari surat al-Hujurat sampai dengan surat an-Naas. Namun ketika melaksanakan shalat subuh beliau membaca surat al- Waqi’ah dan surat yang sejenisnya. Tadi Ibnu Mas’ud menjelaskan tentang membacanya, tidaklah difahami tentang bacaannya saja. karena pada zaman sahabat dahulu ketika diperintahkan untuk membaca itu termasuk di dalamnya menghafal, memahami dan mengamalkannya. Karenanya keberkahan dan kebaikan itu akan diberikan kepada Allah Saw kepada hamba-Nya dengan berlimpah dengan syarat dipahami dan diikuti segala tuntunannya sebagaimana dijelaskan ayat di atas tadi.


Tafsir Surat Al Waqi'ah "Hari Kiamat"

Pendahuluan
Surah Makkiyah ini menggambarkan kebangkitan besar ketika segala sesuatu bakal ditampakkan dan keadilan sempurna akan ditegakkan. Surah ini mengemukakan bukti eksistensial yang memungkinkan manusia mempertanyakan kembali keberadaannya dan juga memungkin-kannya menyadari adanya satu Pencipta, satu-satunya Zat yang layak disembah dan diibadahi.

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Segala sesuatu dimulai dengan nama Allah. Kata bismillah (dengan nama Allah) adalah bagian dari setiap surah Alquran, kecuali surah at-Tawbah. Bismillâhirrahmânirrahim mempunyai makna harfiah yang selalu sama, tetapi pesannya berbeda sesuai dengan makna surah yang diawalinya. Orang-orang yang beriman, dan yang imannya telah diuji dengan beragam kesadaran dan pengalaman pribadi, akan melihat satu tangan di balik segala sesuatu yang maujud dan juga tidak maujud. Mereka melihat yang lembut di balik yang kasar. Segala sesuatu mempunyai label Tuhan Yang Mahabenar di dalamnya. Entah suka atau tidak, segala sifat atau tindakan selalu ditandai oleh penyebabnya.

Bismillah adalah pintu gerbang yang, bila dibuka dengan benar, akan mengantarkan Anda menuju taman surah ini. Kalimat ini adalah bagian dari setiap surah dan, dengan sendirinya, mesti dibaca dalam salat karena merupakan bagian darinya. Dalam salat, seseorang harus memilih satu surah terlebih dahulu, lalu mengucapkan bismillâh, dengan nama Allah yang telah memberi Anda kemampuan untuk menyatakan tauhid dengan membiarkannya mengalir dalam surah itu selama teriintas dalam benaknya.

1. Apabila telah terjadi hari kiamat.
2. Tidak seorang pun dapat mendustakan kejadiannya.
3. Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan lainnya).
"Apabila telah terjadi hari kiamat." Kata waqa’a berarti tiba, menimpa, terjadi. Peristiwa yang menyibukkan manusia adalah hari kebangkitan, yawm al-qiyâmah, hari awal dari tahap berikutnya pengalaman manusia. Hari inilah titik acuan utama dan sangat penting artinya. Apa pun yang ada dalam siklus penciptaan berikutnya—yang tidak didasarkan pada dualitas di mana ada kekacauan antara jiwa dan raga—tidaklah tunduk pada waktu. Apa pun yang ada atau yang dapat dialami sejak terjadinya peristiwa besar itu dan sesudahnya sesungguhnya memiliki refleksinya dalam kehidupan ini.

Umpamanya saja, dalam Alquran, api yang dijanjikan dalam kehidupan akhirat disebut sebagai api neraka Jahannam (nâr al-jahannam) atau api besar (an-nâr al-kubra), yang menyiratkan bahwa apa yang Anda alami dalam kehidupan ini adalah api kecil dalam bentuk amarah, kekecewaan, hasutan, dan berbagai hasrat atau keinginan yang tak terpenuhi. Pengalaman tentang surga secara potensial juga ada dalam kehidupan manusia di dunia ini. Demikian pula, pengalaman tentang peristiwa itu, hari perhitungan, bisa digemakan dan direfleksikan dalam diri manusia sekarang dan di dunia ini.

Ketika sebuah peristiwa penting terjadi dalam diri seseorang, hal itu bisa membuatnya mulai tersadar atau memberikan kesaksian. Peristiwa seperti ini memudahkan jalan menuju eksistensi. Manusia bergerak dalam sebuah terowongan yang didorong oleh kekuatan alam, dibimbing atau disesatkan oleh kebiasaan-kebiasaan masa lalu, keadaan-keadaan masa kini, dan berbagai proyeksi masa depan. Ia berada dalam kepompong. Jika kemudian ada guncangan tiba-tiba atau keretakan itu mulai melebar, maka itulah peristiwa besar (waqi'ah) bagi orang yang telah mengalaminya. Akan tetapi, ketika terjadi peristiwa besar (yawm al-qiyâmah), tidak ada seorang pun bisa mengingkarinya. Setiap orang tunduk kepada kekuatannya. Peristiwa ini mengangkat dan menjatuhkan, meledakkan planet, bintang, atau aspek-aspek alam semesta, dan menghancurkan bagian-bagian lainnya. Sebuah ciptaan berakhir dan ciptaan lainnya pun dimulai. Entitas-entitas kosmis dipaksa untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Akan terjadilah situasi perendahan dan peningkatan.

Inilah waktunya ketika hati-hati yang telah tercerahkan diangkat dan dilapangkan dari beban-bebannya, sementara hati-hati yang temoda dan penuh dengan beban dihancurkan. Seorang mukmin ditinggikan dan seorang kafir atau seorang munafik pun dihinakan. Hari perhitungan adalah hari pemilahan, hari pemisahan ke dalam berbagai kelompok (yawm al-fashl). Tidak ada daerah abu-abu atau kabur. Keadaan Anda akan bahagia atau sengsara, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan Anda dan apa yang telah Anda peroleh dalam kehidupan singkat dunia ini. Orang-orang yang telah mengangkat diri mereka dengan menempuh jalan kebenaran bakal ditinggikan setinggi-tingginya di akhirat, dan orang-orang yang sudah merendahkan diri mereka sendiri bakal direndahkan serendah-rendahnya. Kesadaran di akhirat adalah abadi dan, karena itu, bersifat permanen. Inilah sebabnya akhirat itu disebut tempat tinggal terakhir, karena di dalamnya tidak ada lagi pergerakan.

4. Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya.
5. Dan gunung-gunung dihancurleburkan sehancur-hancurnya.
6. Lalu gunung-gunung itu pun berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan.
"Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya." Bumi adalah segala sesuatu yang berfungsi sebagai fondasi, seperti tanah misalnya. Kata rajja berarti mengguncangkan. Setiap orang menginginkan stabilitas atau kemapanan, entah dalam rumah, pergaulan dan hubungan, atau dalam perekonomian. Akan tetapi, orang-orang yang mencari stabilitas mutlak mengetahui bahwa yang demikian itu hanya dijumpai bila ada keimanan dan ketawakalan kepada Allah. Segala jenis stabilitas lainnya bersifat relatif.

Sekalipun hal itu mungkin berlangsung selama hayatnya masih dikandung badan, sang pencari kebenaran pun mengetahui bahwa dunia dan alam semesta sesungguhnya tengah menempuh perjalanan, dan bahwa fondasi yang dijadikannya untuk membangun keamanan relatifnya bisa saja terguncang dan dicabut dari dirinya. Sewaktu mengalami guncangan, fondasi relatif yang rapuh, setelah memenuhi tujuannya dalam siklus penciptaan ini, sudah berakhir. Bagi seseorang yang tengah menempuh jalan itu, kesengsaraan seperti itu dipandang sebagai bukti langsung cinta Tuhan Yang Mahabenar kepada dirinya. Karena itu, ia pun mencari fondasi yang lebih baik hingga ia menemukan fondasi sejati dari segala fondasi.

Massa yang padat, yang mencapai keseimbangan sesudah bumi menjadi dingin, dengan memberinya stabilitas relatif, akan hancur beterbangan dan berhamburan menjadi debu. Orang beruntung yang memiliki intelek mulai menyadari bahwa apa yang dipahaminya sebagai ketangguhan fondasinya hanya ada dalam benaknya saja. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang abadi, entah kesehatan, kekayaan, maupun anak-anak. Sesudah hal itu diketahui, kesadaran, kesegeraan, dan urgensi pencarian kebenaran menjadi kesibukan utama dalam kehidupannya, dan seluruh aspek lainnya menjadi sekunder dan, karenanya, bisa diterima kefanaannya. Setelah fondasinya diguncang dan dihancurkan, terbangunlah sebuah fondasi yang baru dan lebih kuat.

Ukuran hal-hal duniawi berpijak pada faktor-faktor waktu spesifik yang sangat berbeda bila ada keberpalingan hati, yang menimbulkan perubahan situasi seseorang. Ini adalah masalah sikap. Dihalaunya hati dari dunia ini memang benar-benar sebuah peristiwa besar. Ini adalah pengantar menuju pengalaman tentang kehidupan sesudah mati. Maka, hati pun tercerabut sepenuhnya dan memasuki keadaan melampaui kebebasan. Sebab, kebebasan hanya bermakna karena ada belenggu. Manusia mampu memahami keadaan ini secara intelektual dan eksperiensial hingga berbagai tingkatan kejelasan. Misalnya saja, berbagai realitas kasatmata yang paling solid dalam kehidupan ini adalah gunung-gunung yang melabuhkan jubah bumi. Jika entitas-entitas yang dipandang paling solid ini bisa dibebaskan, maka perhatikan hal-hal yang sama rapuhnya dengan segenap pergaulan atau pemikiran.

"Lalu gunung-gunung itu pun berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan." Ketika peristiwa akhir itu terjadi, ada aliran-aliran pasti yang ke dalamnya setiap orang dipisahkan. Dalam dunia ini, aliran-aliran itu tidak diuraikan dengan jelas karena kita mempersepsikan segala sesuatu dalam berbagai tingkatan relatif, dan relativitas itu mengaburkan berbagai uraian itu.

7. Dan kamu menjadi tiga golongan.
8. (Pertama) golongan yang berbahagia. Alangkah mulianya golongan yang berbahagia itu.
Manusia bisa dibagi menjadi tiga jenis. Pada peristiwa terakhir itu, akan ada proses penyaringan persis sama sebagaimana terjadi dalam kehidupan ini. Dalam satu kelompok, ada orang-orang beriman, yang keimanannya bisa berasal baik dari penalaran intelektual maupun melalui pewarisannya dari sebuah keluarga yang beriman kepada Tuhan Yang Mahabenar, kepada Islam.

Dalam kelompok lainnya, ada orang-orang yang merugi, yang kebingungan dan sombong. Mereka adalah orang-orang yang egonya demikian membatu sehingga Tuhan Yang Mahabenar pun mereka ingkari sepenuhnya. Akan tetapi, jenis-jenis ini tidak selalu terikat dengan kelompok-kelompok mereka. Ada saat-saat di mana seseorang meninggalkan golongan orang-orang yang merugi dan berada dalam kebingungan untuk kemudian bergabung dengan golongan orang-orang yang memiliki keimanan, keimanan tak tergoyahkan, yang bertumpu pada pengetahuan tentang satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar.

Orang-orang golongan kanan adalah orang-orang yang memiliki keimanan sejati. Mereka beriman kepada Allah dan juga kepada rahmat-Nya kepada makhluk-Nya. Mereka pun berkeyakinan bahwa tujuan penciptaan adalah mengenal sang Pencipta dan mampu menyerahkan kehendak mereka kepada kehendak sang Pencipta. Iman dimulai dengan ketundukan lahiriah, dan berakhir dengan pengakuan langsung bahwa kehendak seseorang dan ketentuan Allah adalah satu: keduanya memancar dari Yang Mahaesa, didukung oleh-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Pada tahapan ini, manusia menyadari sumber kebahagiaan batiniah, karena sudah tidak ada lagi perlawanan apa pun.

Orang-orang golongan kanan telah bertindak secara positif dan langsung. Tangan kanan dalam kebudayaan Arab, dan juga dalam berbagai kebudayaan lainnya, adalah tangan yang digunakan dalarn transaksi yang sah dan halal. Sementara itu, tangan kiri adalah tangan untuk menyerahkan dan membuang, tangan pengingkaran.

9. (Kedua) golongan celaka. Alangkah sengsaranya golongan celaka itu.
Kata masy'amah (tangan kiri) berasal dari kata sya'ama, dan berarti mengetahui pertanda buruk, meramalkan suatu bencana atau ketidakberuntungan. Orang-orang golongan kiri adalah orang-orang buangan yang telah mengutuk diri karena kebodohan dan kerugian mereka sendiri. Manusia tidak bisa menggugat sang Pencipta. Ia sudah diberi gambaran tentang Tuhan Yang Mahabenar, suatu referensi kepada yawm al-qiyâmah yang tidak bisa dicampurinya. Dalam kehidupannya, ia mungkin saja merasa bahwa ia mengalami kerugian, marah, tidak bahagia, dan kebingungan. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa masih ada kemungkinan munculnya kesadaran yang dapat memasukkannya ke dalam golongan kanan. Karena itu, ia harus terus berusaha.

10. (Ketiga adalah) orang-orang yang paling dahulu beriman.
11. Mereka itulah orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
"Dan orang-orang yang paling dahulu beriman." Kata sabaqa berarti mendahului. Dalam kehidupan ini, setiap orang itu bisa dipimpin atau memimpin. Di sini, Allah menyebut-nyebut keadaan keberhasilan puncak, yakni keberhasilan seseorang yang telah berpindah ke zone di luar waktu, alam berikutnya. Menurut beberapa hadis, kata sâbiqun berarti orang-orang yang beriman terlebih dahulu. Para Imam mengidentifikasi sebagian orang mukmin awal yang masuk surga adalah anak Adam yang dibunuh, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kaum Fir'aun, Habib an-Najar yang mengikuti 'Isa a.s., dan Ali bin Abi Thalib a.s.

Kata as-sâbiqun secara umum merujuk pada orang-orang yang akan masuk surga tanpa dihisab, karena sudah berada dalam keadaan demikian dalam kehidupan dunia ini.

12. Berada dalam surga-surga kenikmatan.
13. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu.
14. Dan segolongan kecil dari orang-orang terkemudian.
Mereka berada dalam "surga-surga kenikmatan." Kata na'îm berasal dari kata na'ama, yang berarti hidup tenang dan nyaman. Kata ni'mah adalah berkah dan kenikmatan, segala sesuatu yang ingin lebih banyak lagi dimiliki oleh seseorang.

"Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu" (QS 2:216).


Seringkali seseorang tidak dapat mengambil hikmah dari berbagai peristiwa yang dialaminya. Jika manusia mampu apa yang menimpa dirinya sebagai terjadi atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (bismillâhirrahmânirrahîm), maka ia akan mampu melihat rahmat Allah di balik setiap peristiwa dan situasi. Bila tidak, ia hanya akan menilai berdasarkan pandangan pribadinya. Orang mukmin hanya melihat kebaikan, tanpa mempedulikan apa kata orang lain. Jika ia betul-betul beriman, jika ia meyakini bahwa pengendali makhluk ini adalah Tuhan Yang Maha Pengasih, maka ia akan berusaha melihat rahmat Allah di balik setiap peristiwa. Karena alasan itu, hati seorang mukrnin tidak pernah terguncang atau merasa gelisah.

Seorang mukmin bertindak sebaik mungkin menurut kemampuannya, karena ia adalah aktor dan sekaligus objek tindakan. Secara lahiriah, ia akan menanggapi suatu keadaan darurat. Sementara itu, secara batiniah, ia akan merasa tenang, karena mengetahui bahwa hal itu berasal dari Tuhan Yang Mahabenar. Jika ia tidak menyukai apa yang menimpa dirinya, yang demikian itu karena ia menilainya secara salah dan serampangan.

Penilaian didasarkan pada tingkat kejahilan dan pengetahuan. "Boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal ia itu baik bagimu" (QS 2:216). Seorang anak sangat suka bila ada banyak coklat di sekelilingnya, sementara seorang dewasa yang berilmu bisa mengetahui bahaya coklat itu bagi kesehatan. Seorang anak muda yang bertanggung jawab baru mengerti dan memahami arti jerih payah dan tanggung jawab dalam hubungannya dengan harta kekayaan setelah ia memperolehnya dengan keringatnya sendiri. Hanya dengan cara seperti ini sajalah ia akan mengetahui kesulitan dalam memperoleh, menjaga, dan membelanjakannya dengan baik. Akan tetapi, seorang yang tidak bertanggungjawab biasanya memiliki hasrat atau keinginan romantis pada segala sesuatu tanpa mengetahui bahaya yang terkandung di dalamnya.

Sekelompok orang yang sudah lebih dahulu memiliki pengetahuan tentang Tuhan Yang Mahabenar juga lebih dahulu memasuki surga keimanan. Mereka dikatakan terdahulu dalam pengertian bahwa mereka sudah masuk ke surga sebelum kematian karena telah meraih kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan ini. Mereka sudah mengetahui makna kenikmatan dan memiliki pengetahuan langsung tentang tauhid di dunia ini. Orang-orang yang belum meraih pengetahuan langsung hanya bisa membenahi dan memperbaiki salat dan doa mereka dengan harapan bahwa mereka bisa memperolehnya sewaktu nyawa dan dunia pun direnggut oleh kematian. Tidak peduli sudah sejauh mana tauhid dan keimanan seseorang, tetap saja masih ada tarikan tubuh. Tubuh adalah salah satu instrumen yang digunakan Allah dalam memberikan peringatan bahwa seseorang masih dikuasai oleh belenggu alam kehidupan dunia ini. Tidak peduli sejauh mana seseorang berada dalam kepasrahan, tetap saja masih diketahui ada dualitas dan kerugian.

Ketidakadilan manusia ada karena tidak ada ketinggian puncak dalam evolusi spiritual, yakni peristiwa historis atau duniawi berupa munculnya Imam Mahdi (secara harfiah bermakna orang yang terbimbing lurus; beliau adalah Imam kedua belas yang sedang gaib). Pada waktu itu, bumi akan diwarisi oleh orang-orang rendah hati yang bertindak benar. Keadilan Allah pun akan terwujud penuh dalam kehidupan ini.

Jika seseorang peduli pada waktu, maka ia juga harus peduli pada kronologi peristiwa. Jika cahaya intelek memungkinkan seseorang untuk pergi menembus waktu untuk sesaat, maka kata "terdahulu" mengimplikasikan orang-orang yang memperoleh risalah, tak peduli kapan waktunya. Orang-orang yang kepedulian utamanya adalah menjalani kehidupan tauhid cenderung kurang mementingkan waktu. Manusia yang mencari tauhid akan berusaha memperoleh pengetahuan Ibrahim a.s. la bersahabat dengan Nabi Muhammad saw., dan menginginkan bimbingan, nasihat, dan persahabatan dengan para Imam dan sahabat-sahabat terpilih. Ia ingin mendekati keadaan mereka. Sia-sia dan percuma saja menginginkan kedekatan dengan mereka secara fisik, tanpa ingin mengambil teladan mereka. Dan jika seseorang ingin mendekati keadaan mereka, maka yang demikian itu dapat terjadi kapan saja. Sebab, keadaan mereka dipaparkan kepada manusia melalui Al-quran, Sunah Nabi, dan hadis. Seseorang bisa dikatakan telah hadir bersama mereka bila ia sudah mampu mencapai derajat yang sama dengan mereka.

15. Mereka berada di atas dipan bertahtakan emas dan permata.
16. Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan.
Akar kata surur (tahta) adalah dari sarra, yang berarti membuat bahagia, mempercayakan rahasia, menyembunyikan sesuatu. Darinya muncul banyak kata yang membentuk pola makna menarik. Kata surur bermakna kebahagiaan, yang menyiratkan bahwa sumber kebahagiaan adalah suatu rahasia yang hanya bisa dibisikkan kepada diri sendiri. Itulah rahasia dari segala rahasia yang tidak bisa diungkapkan. Jika seseorang bahagia, maka kebahagiaan itu sendiri adalah penjelasan tentang keadaan tersebut. Akan tetapi, orang tidak bisa memberikan sumber itu kepada orang lain. Ini berkaitan dengan tingkat kesadaran lainnya.

Kesenangan adalah sesuatu yang dapat dibagi dan dibeli. Kesenangan berkaitan dengan berbagai keterikatan dan juga merupakan sesuatu yang bersifat duniawi, sementara surur, kebahagiaan, hanyalah demi kepentingannya sendiri. Burung bernyanyi, karena sifat alamiahnya memang bemyanyi, tak peduli apakah ada pemburu yang sedang mengintainya atau apakah tetangganya memberinya makanan tambahan. Kesenangan adalah hasil dari sesuatu yang telah terjadi. Ada seseorang kesepian dan kemudian ia menemukan seorang sahabat yang bersedia mendengar dan menanggapi apa yang diyakininya inilah kesenangan. Ada seseorang lapar; perutnya kosong, dan kemudian ada makanan itulah kesenangan. Kesenangan bagaikan netralisasi: kutub positif dan negatif bertemu sehingga dan kemudian dinetralisasi.

Kegembiraan adalah sesuatu yang lain lagi; ia adalah penangkal dari kutub negatif. Kegembiraan terjadi ketika apa yang dianggap menyenangkan sudah diketahui sebagai ilusi (wahm). Penangkal kutub negatif adalah kutub positif, dan inilah keadaan normal manusia. Karena alasan inilah manusia secara inheren mencari kebahagiaan. Ia mengetahui kesenangan; ia tahu bahwa kebahagiaan dapat dibeli, tetapi ia tidak mengetahui cara menuju kebahagiaan itu. Manusia mencari kebahagiaan karena memang itulah sifat alamiahnya. la tidak bahagia karena ia berkali-kali mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia memerlukan sesuatu agar bisa bahagia. Ia selalu memburunya. Akan tetapi, begitu ia sudah memperolehnya, ia pun menginginkan sesuatu yang lain.

Pintu menuju rumah kebahagiaan adalah pengetahuan tentang bagaimana menguraikan ikatan yang telah dibuat seseorang. Itulah sebabnya dikatakan bahwa sumber kebahagiaan itu adalah rahasia dari segala rahasia. Sesuatu yang diinginkan dengan sendirinya adalah sebuah wahm. Pengetahuan tentang wahm menjadi penangkal baginya. Dan jika penangkalnya itu memang murni, maka akar kebahagiaan itu dipupuk dari dalam. Itulah tanah subur tempat pohon kepuasan akan tumbuh. Kepuasan adalah sebuah pohon yang tidak bisa ditanamkan pada orang lain. Seseorang harus memupuk dan menumbuhkannya dengan segenap usaha dan jerih payahnya sendiri.

Sebenarnya sudah ada kepuasan yang inheren dalam dalam diri makhluk seperti burung. Akan tetapi, manusia memiliki kesadaran tentang kepuasan itu. Selanjutnya, manusia memiliki cahaya kesadaran dari kesadaran. Ini mengukuhkan manusia sebagai makhluk paling luhur dan termulia. Manusia sadar akan kesadaran tentang kebahagian. Manusia juga sadar akan kesadaran tentang ketidakbahagiannya.

Surur tidak bisa diwariskan, tetapi harus diperoleh dengan usaha dan jerih payah. Jika seseorang telah mengetahui cara untuk mendapatkannya, maka ia akan terus mencarinya sepanjang hayat masih dikandung badan. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan waktu atau tempat. Sering kali seseorang yang bodoh kembali ke danau atau puncak gunung tempat ia berlibur atau mengalami masa indah, seraya berpikir bahwa ia akan mampu menghadirkan kembali perasaan bahagia dalam hatinya. Ia merindukan kebahagiaan. Pencarian menyimpang ini dijumpai dalam jiwa orang-orang seperti artis atau komponis. Dalam riwayat hidup orang-orang gila ini, seseorang akan menemukan bahwa mereka sering kali kembali ke gunung yang sama dengan maksud untuk menjalani sisa hidup mereka dalam suatu ilusi romantis agar mereka bisa menghadirkan kembali momen-momen kreatif mereka.

Akan tetapi, momen-momen kreatif adalah momen-momen keterputusan dari dunia ini. Ini terjadi begitu saja bahwa ia berada di puncak gunung itu. la merindukan momen kebahagiaan yang telah dialaminya tetapi tak bisa dihadirkan kembali. la mengira bahwa kebahagiaan itu bisa digambarkan, padahal tidaklah demikian halnya.

"Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan jalan orang-orang yang sesat" (QS 1:7).


Perhatikan apa saja yang menyusahkan Anda dan menjauhkan Anda dari kebahagiaan: keterikatan, harapan, nafsu, dan rasa takut—waspadalah terhadap semuanya ini dan Anda akan berada dalam surga.

Akar kata surur juga berkaitan dengan kata yang bermakna pemotongan ari-ari bayi yang baru lahir. Hal ini menjadi kebahagiaan, karena sang anak sudah tidak bergantung lagi pada "rahim." Pemotongan ari-ari itu mengawali kemandirian lahiriahnya dan mengantarkannya menuju kemungkinan untuk memahami bahwa ia bergantung hanya kepada Allah. Inilah awal dari sebuah perjalanan kebahagiaan yang di dalamnya sang anak mulai mengetahui bahwa ia adalah "anak" dari Zat Yang Mahabenar dan Yang Mahahakiki dan bahwa ia lahir karena rahmat Allah, sementara sang ibu hanyalah alat tempat ia dititipkan sebelum lahir. Potensialitas kehidupannya sebelum pembuahan ada dalam pengetahuan Allah dan menjadi suatu ekspresi, suatu manifestasi.

Sarîr (tahta, ranjang, bentuk tunggal dari surur) adalah simbol kelegaan atau keterlepasan dari segala gangguan luar dan juga sarana menuju kebahagiaan. Ini memungkinkan seseorang untuk bersantai dan merasakan kebahagiaan, suatu keadaan yang tenang. "Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan." Sambil bersandar di tempat duduk itu, orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) itu tidak merasa gelisah. Mereka merasa rileks atau santai. Kata mutaqâbilîn (berhadap-hadapan) berasal dari kata taqâbala yang bermakna bertemu, saling berhadapan. Mereka pun saling melihat bayangan mereka satu sama lain. Mereka melihat orang lain yang juga seperti diri mereka sendiri. Mereka melihat penampilan yang berulang-ulang, yakni hologram. Akar katanya adalah qabala, yang berarti menerima; kata qiblah, yang berasal dari akar kata yang sama, berarti arah yang dituju seseorang; qâbilah adalah seorang ibu rumah tangga, orang yang menghadapi dan merawat sang bayi.

17. Mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang tetap muda.
18. Dengan membawa gelas (piala), cerek, dan minuman yang diambil dari air mengalir.
19. Mereka tidak merasa pening karenanya dan tidak pula mabuk.
20. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih.
21. Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.
Dunia pengalaman ini, jannah (surga), bersifat abadi. Manusia hanya dapat memahaminya dari sudut pandang eksistensinya sekarang yang berpijak pada kebutuhan eksistensial, dengan yang satu melayani yang lain. Metafora (mitsâl) berupa pelayan-pelayan yang selalu muda menyiratkan bahwa, dalam daerah nir-waktu, manusia tidak lagi mengalami proses penuaan.

Penyebutan daging di surga sangatlah penting.
Daging menduduki posisi penting dalam kehidupan ini, karena ia dianggap sebagai aspek penting dari program diet. Daging mengandung zat-zat yang dibutuhkan manusia seperti asam amino, berbagai mineral, dan vitamin. Secara tradisional, praktik-praktik Islam menganjurkan kaum muslim untuk memakan daging satu atau dua kali seminggu. Dewasa ini, para ahli diet modern menyarankan agar daging hanya boleh dimakan dua kali, sedangkan ikan satu kali, dalam seminggu. Sisa dietnya selebihnya terdiri atas gandum dan sayuran. Secara tradisional, orang hanya memakan daging hewan yang dapat ditangkap secara domestik pada musim tertentu. Sekarang ini, orang memakan sejumlah besar daging dan lemak di tempat-tempat seperti jazirah Arab yang panas. Menyantap makanan yang tidak sesuai dengan musim dan tempatnya hanya akan menimbulkan penyakit. Ayat yang menggambarkan tersedianya daging di surga adalah sebuah mitsâl dan tidak berarti bahwa akan ada pesta berburu di surga. Maksud sebenarnya ada-lah bahwa gizi di surga adalah gizi yang terbaik dan terbagus.

22. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli.
23. Laksana mutiara yang tersimpan baik.
24. Sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Hur (perawan-perawan di surga atau bidadari-bidadari) digambarkan seperti mutiara yang tersembunyi, tersimpan (maknun), dan sangat dihargai. Kata maknun berasal dari kata kanna, yang bermakna menyembunyikan, melindungi. Mereka—bidadari-bidadari itu—selamanya dijaga dalam keadaan murni.

Keadaan dalam surga laksana bayangan cermin, refleksi, dari sifat tindakan seseorang di dunia ini. "Sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan": balasan seseorang adalah tindakannya itu sendiri. Balasan itu tidak datang kemudian, karena dalam Tuhan Yang Mahabenar tidak ada waktu. Setiap tindakan pun memiliki balasannya sendiri dalam zona waktu ini. Dalam kehidupan akhirat, ketika tidak ada lagi waktu, tindakan pun mewujud kembali dalam makna, dalam keadaan di mana jiwa mampu melihat dirinya sendiri.

Manusia memahami bahwa, dengan berbuat baik kepada seseorang, ia akan dibalas kembali suatu saat. Orang-orang yang memiliki pandangan batiniah memperoleh kebahagiaan sewaktu tindakan atau amal perbuatan itu dilakukan. Mereka tidak mempedulikan hasil nyata, yang hanya benar-benar bersifat sekunder. Kita dapat mengumpamakan seperti seorang ahli berkebun yang, sewaktu melihat tanamannya tumbuh, mampu menggambarkan keseluruhan siklus pertumbuhan dan pembusukan. Hanya orang-orang serakah dan kelaparan sajalah yang sekadar menunggu buahnya.

Seorang ahli berkebun yang betul-betul menikmati proses berkebun sudah menggambarkan buah yang bakal dipetik dan bahkan lebih dari itu. Hanya hewan sajalah yang menunggu sesuatu agar ada lebih dahulu untuk kemudian dinikmati. Dari sudut pandang orang berilmu, manusia yang telah memasrahkan dirinya berarti bahwa tindakannya secara otomatis akan mengandung balasan. Akan tetapi, tetap saja ada buah yang tampak secara material. Hanya saja, kemunculannya berada dalam dimensi waktu, sementara sang pencari ingin mengetahui dimensi non-waktu. Inilah makhluk cerdas yang mampu mengenali bahwa tindakan atau amalnya adalah balasan itu sendiri. Kualitas balasannya itu berbanding lurus dengan sumber tindakannya, yakni niatnya. Makhluk yang memiliki kewaspadaan sempurna akan mampu melihat bagaimana balasan dan amal perbuatan tidak dapat dipisahkan.

25. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa.
26. Akan tetapi, mereka hanya mendengar ucapan salam.
Laghw (perkataan yang sia-sia) adalah kata-kata yang sama sekali tidak bermakna. Akar katanya adalah laghâ, yang berarti berbicara omong kosong, melakukan kesalahan; dalam bentuk lain, kata ini bisa berarti mementahkan, membatalkan, menghilangkan. Dari laghâ muncul kata lughah, bahasa. Lughawi adalah seorang ahli bahasa, dan laghwî memiliki arti seseorang yang banyak omong dan berbicara banyak omong kosong. Perhatikan bahwa seorang ahli bahasa dan seorang yang berbicara omong kosong hampir memiliki kata yang sama.

"Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula ucapan yang menimbulkan dosa." Tidak ada ta'tsîm, dosa. Yang ada hanyalah persamaan sempurna. Tidak ada yang namanya kezaliman. Keadilan di akhirat akan disaksikan oleh semua orang, karena tidak ada sesuatu atau seseorang pun bisa mengganggu-gugatnya. Di dunia ini, seseorang bisa saja melihat banyak sekali penyimpangan keadilan. Jika seseorang melihat dengan mata batiniah, maka yang dilihatnya hanyalah keadilan. Sebagai suatu makhluk lahiriah, karena memiliki orientasi lahiriah, seseorang harus terus-menerus berusaha sebaik mungkin untuk mewujudkan keadilan lahiriah, meskipun secara batiniah mungkin ia melihat bahwa segala sesuatunya sudah sempurna. Karena tidak ada carnpur tangan manusia, kehidupan akhirat benar-benar adil dan bermakna. Dalam kehidupan ini, karena manusia bertindak serampangan atau melampaui batas, maka ia mengetahui apa yang tampak tidak adil. Dengan melihat melalui pandangan Tuhan Yang Mahabenar, bahkan apa yang tampak tidak adil sesungguhnya adalah adil.

Manusia diberi pilihan untuk bertindak atau tidak bertindak. Bertindak salah akan melahirkan situasi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa ada ketidakadilan. la telah bertindak tidak sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Secara lahiriah, seseorang berusaha mewujudkan keadilan lahiriah; sementara secara batiniah, ia menerima apa yang ditetapkan sebagai bagian dari pendidikan (tarbiyyah) dan ketuhanan (rububiyyah). Secara lahiriah, seseorang bertindak sebagai tangan Allah, kaki Allah, mata Allah, karena manusia adalah wakil Allah. Itulah tauhid. Karena tersesat dan kebingungan, manusia biasanya bertindak bertentangan dengan ini lantaran ia takut diuji.

Jika, dalam menegakkan keadilan, seseorang merasa bahwa ia terlanda suatu ketidakadilan, maka ia tetap akan berusaha sebaik mungkin menegakkannya, sekalipun kezalirnan itu mungkin akan menelannya. Ia menyadari bahwa kezaliman disebabkan oleh kesewenang-wenangan orang lain, tetapi tetap saja ia juga harus menanggung akibatnya dengan orang lain. Imam Husayn a.s. tidak menghindari kezaliman yang terjadi selama dua puluh tahun. Kezaliman itu telah meminta darahnya dan juga darah tujuh puluh dua orang anggota keluarganya. Beliau sama sekali tidak menghindarinya. Dalam kebangkitannya, gelombang tirani akan memangsa orang-orang baik dan orang-orang jahat. Akan tetapi, jika manusia tetap teguh dalam kepasrahannya, maka ia akan menyadari bahwa inilah keadilan Allah. Ia tidak lagi mengedepankan kediaannya sendiri. Ia adalah bagian dari dunia ini juga.

Sebaliknya, peperangan yang dilakukan Imam Hasan adalah menghasilkan perjanjian perdamaian. Beliau mengetahui bahwa empat puluh ribu prajurit yang ada dalam tangannya akan berbalik melawan dirinya pada hari peperangan. Beliau juga melihat bahwa tidak ada alasan lagi untuk menumpahkan darah. Sewaktu beliau menandatangani perjanjian, masih saja ada beberapa orang mengkhianatinya. Ke mana pun seseorang bertindak, ia tidak bisa mengalahkan keadilan manusia. Keadilan manusia memiliki banyak kelemahan, sementara keadilan Allah sangatlah sempurna. Keadilan Allah adalah memberikan kepada seseorang kesempatan untuk mengetahui makna dari kepasrahan kepada Allah. Dengan mengalami ditutupnya semua pintu kecuali satu, manusia akan dituntun menuju pintu Allah.

"Akan tetapi, mereka hanya mendengar ucapan salam." Kedamaian (salam) adalah tempat di mana tidak ada tindakan, keadaan diam paripurna, inti badai di mana segala sesuatunya tenang. Satu menit dalam badai serasa satu tahun, sementara intinya tampak berada dalam kedamaian abadi. Batas luamya selalu bergolak. Manusia yang berada dalam keadaan diterpa inti badai, para penghuni surga, tidak akan mendengar lagi segala jenis ucapan sia-sia dan omong kosong. Tidak ada gerakan atau sesuatu selain kedamaian yang bisa dikenali. Ini bukanlah kedamaian mati, melainkan kesadaran murni, keadaan penuh kebahagiaan yang dapat dirasakan manusia di sini, sekarang ini juga, bila ia tetap berada di jalan Allah, bila ia berpegang teguh pada Alquran dan sunah Nabi tanpa kemunafikan. Inilah keadaan surga lebih tinggi yang dapat dicapai oleh hamba-hamba Allah—yang telah mengikuti risalah dan telah berbuat benar.

27. Dan (tentang) golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan.
28. Berada di tengah-tengah pohon bidara yang tidak berduri.
Bagi "golongan kanan," keadaan bahagia yang mereka alami di dunia ini tercermin di akhirat nanti. Sidr adalah pohon bidara di akhirat. Pohon itu tidak memiliki duri, karena segala sesuatu di akhirat akan berada dalam bentuknya yang paling murni. Wanita akan tetap selamanya perawan, dan selamanya hidup. Segala sesuatu berada dalam bentuknya yang sempurna, termurni, dan terbaik. Duri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan, karena itu, tidak ada dalam surga di akhirat. Tidak ada sesuatu pun yang bisa melukai penghuni surga itu.

29. Dan pohon-pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya).
Thalhin mandhûd adalah gambaran pohon pisang dalam tahap awal pertumbuhannya, di mana buah-buahnya masih bersusun rapat. Ini merujuk pada buah-buahan yang bentuk dan gambarannya berbeda, buah-buahan yang mungkin belum diketahui oleh orang-orang di masa itu. Sumber daya alam Arabia sangat terbatas. Ini juga mengacu pada kenyataan bahwa masih ada banyak hal atau aspek lain di akhirat yang belum diketahui seseorang.

30. Dan naungan yang terbentang luas.
31. Dan air yang terus mengalir.
32. Dan buah-buahan yang melimpah ruah.
33. Yang tidak berhenti (berbuahnya) dan tidak terlarang mengambilnya.
34. Dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk.
"Dan naungan yang terbentang luas." Dalam kebudayaan gurun pasir Arabia, matahari—sekalipun memberikan kehidupan—juga dipandang sebagai menghancurkan kehidupan. Karena itu, naungan adalah suatu rahmat atau anugerah besar. Semakin besar naungan dari sesuatu, semakin besar objek itu sendiri. Dan adakah yang lebih besar dari Allah Yang Mahaagung (al-'Azhîm)? Jika Anda bersama Allah, maka Anda akan memperoleh naungan yang seluas-luasnya. Ungkapan zhill mamdûd secara harfiah berarti naungan yang panjang atau luas. Dalam kebudayaan Arab, seseorang biasanya menunjukkan rasa hormat kepada seorang suci atau wali dengan mengucapkan, "Semoga Allah meluaskan naunganmu."

Di alam akhirat, seseorang akan menyaksikan naungan yang seluas-luasnya. Segala sesuatu berada di bawah naungan sang Pencipta. Tidak ada seorang pun dapat menggelapkan atau memberi bayangan kepada sesuatu. Zhill mamdûd adalah naungan yang melindungi seseorang dan yang menyebabkan seseorang dapat mengenal Allah, karena menyaksikan Allah secara langsung tidaklah mungkin alias mustahil. Seseorang tidak dapat melihat Zat Yang Mahahakiki; yang bisa disaksikannya hanyalah berbagai akibat-Nya saja. Pengetahuan tentang Allah adalah melalui penyimpulan. Manusia menyimpulkan eksistensi-Nya. Jika seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat Allah, maka ini berarti bahwa ia adalah seorang gila atau pembohong. Jika seseorang mengatakan bahwa ia telah melihat Allah pada tempat dan waktu tertentu, maka di manakah Dia pada waktu lainnya? Allah senantiasa Mahahadir, Maha Meliputi segala sesuatu melampaui waktu, melampaui pemahaman, dan juga melampaui penglihatan. Kemampuan melihat dan memahami ada dalam kehidupan yang diberikan Allah kepada manusia. Bagaimana mungkin segenap kemampuan ini bisa melihat apa yang membuat mereka berfungsi? Ini sama sekali tidak mungkin dan mustahil. Seseorang menyimpulkan keberadaan Allah dengan penalaran, dengan hati, dan dengan fitrahnya. Dalam diri setiap orang terdapat benih yang mampu mengenal sang Pencipta. Ketidaksempurnaan dalam ciptaan-Nya yang dilihat manusia sebetulnya berasal dari penyucian hati tak sempurna seseorang.

35. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung.
Surga adalah ciptaan baru di mana tidak ada lagi hasrat, keluhan, kesulitan, atau keterikatan. Kata nasya'a berarti tumbuh, muncul, tercipta. Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung." Penciptaan itu adalah fondasi lain lagi yang tidak bersifat fisikal. Ia didasarkan pada cahaya. Dunia cahaya hanya bisa dijangkau oleh manusia sewaktu sedang tenggelam relung meditasi atau renungan dan refleksi yang dalam.


TO BE CONTINUE....

Sumber : http://sufiroad.blogspot.com/2010/11/sufi-road-surat-al-waqiah-2-tafsir.html
Sumber : http://www.deamira.com/2010/11/kelebihan-membaca-surah-al-waqiah/


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/qs-al-waqiaah-part-i-1-35.html






http://sufiroad.blogspot.com/2010/11/sufi-road-surat-al-waqiah-2-tafsir.html



35. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung.
Surga adalah ciptaan baru di mana tidak ada lagi hasrat, keluhan, kesulitan, atau keterikatan. Kata nasya'a berarti tumbuh, muncul, tercipta. Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung." Penciptaan itu adalah fondasi lain lagi yang tidak bersifat fisikal. Ia didasarkan pada cahaya. Dunia cahaya hanya bisa dijangkau oleh manusia sewaktu sedang tenggelam relung meditasi atau renungan dan refleksi yang dalam.

36. Dan Kami jadikan mereka (bidadari-bidadari itu) gadis-gadis perawan.
37. Yang penuh cinta lagi sebaya umurnya.
38. (Kami ciptakan mereka itu) untuk golongan kanan.
39. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu.
40. Dan segolongan besar pula dari orang-orang terkemudian.
Dengan merangsang imajinasi manusia, Allah menggambarkan kepuasan fisik dari hubungan pria-wanita. "Dan Kami jadikan mereka (bidadari-bidadari itu) gadis-gadis perawan." Wanita di sana, di alam akhirat, selalu dalam keadaan perawan. Kita mengetahui bahwa yang demikian itu mustahil dalam kehidupan di dunia ini. Salah seorang Imam ditanya tentang bagaimana wanita bisa terus perawan. Ia menjawab bahwa hal itu jangan dipahami dalam pengertian fisikal. Gambaran tentang wanita dan minuman tidaklah seperti apa yang mungkin dialami dan dipahami. Semuanya itu adalah mitsâl. Semuanya itu berasal dari insyâ' lainnya, sebuah konstruksi lainnya dalam dunia cahaya dan kesadaran.

41. Dan (tentang) golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
42. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air panas yang mendidih.
43. Dan dalam naungan asap yang hitam.
44. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.
Orang-orang yang merugi di dunia ini akan dikumpulkan dan dijerumuskan lantaran berbagai dosa dan kejahatan mereka. Makhluk-makhluk yang tidak berkembang dan tidak mengembangkan diri dalam kehidupan ini akan didaurulang, dibakar, dan disiksa. Mereka akan merasakan angin panas dan air mendidih, yang sangat bertolakbelakang dengan ketenangan, kebahagiaan, kestabilan, dan kenyamanan.
Keputusan Allah adalah keputusan sempurna. Dia Maha Pemaaf. Dia mengetahui bagaimana mencari dan memisahkan orang-orang yang meragukan. Sebagian pencari sejati kebenaran, semisal Mulla Shadra dan Ibn al-'Arabi, seringkali menggambarkan keadaan "alam antara" (Barzakh). Sekalipun "alam antara" ini diawali dalam kehidupan berikutnya, dalam zone nir-waktu, gambarannya dapat dibayangkan sekarang ini, karena alam itu adalah alam lintas-ruang, alam transisi antara kehidupan ini dan akhirat nanti, setelah pemisahan.

Beberapa pencari kebenaran ini berbicara tentang penyucian manusia dengan api. Ibn al-'Arabi membagi api menjadi tujuh jenis. Seseorang bisa dicampakkan ke dalam api neraka agar bisa mengalami dan merasakannya dalam rangka memberinya kesempatan terakhir guna memohon ampunan. Pengetahuan tentang jenis-jenis api mungkin saja bermanfaat, tetapi mungkin juga melahirkan spekulasi yang tidak perlu. Dibesarkan dalam dunia materialistis seperti itu, manusia segera ingin mengkategorikan lebih jauh lagi segala sesuatu, sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan yang berkeliling dunia mengumpulkan burung dan kupu-kupu indah untuk dimasukkan dalam museum biologi. Ini bukanlah cara untuk mencapai pengetahuan batiniah. Caranya bukanlah dengan sekadar mengumpulkan atau menghimpun.
Hadis-hadis meriwayatkan bahwa ada orang-orang yang dinilai jahat oleh manusia, tetapi ia dinilai baik oleh Allah. Kita tidak dapat mengabaikan kejahatan seseorang dalam jalan lahiriah atau syariat; penilaian dalam wilayah kehidupan ini hanya bisa dilakukan sesuai dengan syariat, bukan malah melampauinya. Allah akan menilai segi-segi pelanggaran yang lebih lembut dan tersembunyi, tetapi itu bukanlah pokok bahasan kami.

45. Sesungguhnya mereka dahulu hidup bermewah-mewahan.
46. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.
"Sesungguhnya mereka dahulu hidup bermewah-mewahan." Kata mutraf berarti hidup bermewah-mewahan dan sembarangan di dunia ini. Kata ini menyiratkan arti melebihi kebutuhan seseorang. Karena bersikap serampangan dengan kemurahan alam, seseorang menjadi berperilaku menyimpang dan menyalahgunakan nikmat atau anugerah yang diberikan kepadanya. Ibadah penyucian diri dengan memberikan sebagian harta kepada orang lain atau zakat berfungsi sebagai suatu obat alami dalam menangkal keserakahan yang sering merusak diri manusia. Nabi Muhammad saw. ditanya ihwal mengapa zakat sejumlah dua setengah persen. Beliau menjawab bahwa, dalam mengikuti keadilan Allah dan kehendak alam, seseorang menyadari bahwa bagi setiap seribu orang terdapat dua puluh lima orang miskin yang tidak mampu mencukupi diri mereka sendiri dan, karenanya, mereka harus dibantu oleh sebagian lainnya.

Jika Allah mencintai seseorang, maka akan Dia memberinya cobaan untuk membangunkan kesadarannya. Karena cinta kepada tanahnya, seseorang rela bersusah payah membajaknya dan menggarapnya habis-habisan. Urusan hati (qalb') adalah dibolak-balik (maqlub) agar bisa pasrah dan terbebaskan.

Seorang mutraf mencintai dunia dan merasa puas dengannya. Sekalipun sang mutraf ini berinvestasi dan menabung secara salah, ia pun terdorong untuk berbuat salah lagi karena keberhasilan materialnya. Alquran menganjurkan golongan kanan untuk membiarkannya sendiri dan tidak mengganggunya, karena waktunya akan segera berlalu. Ia jauh dari Tuhan Yang Mahabenar dan tidak mampu melihat bahwa kehidupan ini akan berakhir. Ia tidak menabung untuk kehidupan di alam akhirat. Allah mengatakan bahwa jika Dia ingin menghancurkan suatu kebudayaan atau golongan yang melampaui batas, maka Dia akan mengutus kaum mutrafin (jamak dari mutraf). Mereka ini—kaum mutrafin—mengetahui betul bagaimana cara memanipulasi sistem. Mereka adalah parasit kelas wahid. Dengan pelanggaran mereka dalam sistem duniawi, keadilan pun ditegakkan. Ekologi mempunyai suatu mekanisme sempurna untuk memperbarui dirinya. Pelanggaran kaum mutrafin akan menimbulkan reaksi, dan mereka akan dihancurkan berikut berbagai elemen dan hasil pelanggaran mereka. Inilah siklus ekologis dan sibemetis dari penghancuran dan peremajaan-diri, dengan menghancurkan suatu tatanan yang tidak kondusif untuk memperbarui tatanan alam.

Manusia tidak dihancurkan oleh makhluk bersayap yang turun dari langit dan menyemburkan api. Mereka akan dihancurkan oleh makhluk yang berasal dari diri rnereka sendiri. Orang-orang yang mampu mengambil langkah meretas keterikatan dan melakukan refleksi bisa melihat kehancuran itu terjadi terus-menerus dalam sejarah manusia, karena tidak ada sesuatu pun yang berubah. Sunnatullâh tidak pernah berubah. Hukum yang mengatur kehidupan ini sangatlah kokoh dan menjadi fondasi pembangunan segala sesuatu.

Sifat permanen hukum-hukum itu merefleksikan sebuah aspek dari rahmat Allah, karena manusia diberi sesuatu untuk dijadikan sebagai pijakan. Hukum-hukum manusia tidak memiliki kasih sayang atau sifat permanen seperti itu. Jika orang-orang yang telah meninggal dunia seratus tahun lalu di Amerika dihidupkan kembali, maka mereka akan dipenjara dalam waktu sehari, lantaran mereka tidak bakal memahami bagaimana caranya mendekati dan berurusan dengan hukum-hukum yang rumit dewasa ini. Hukum-hukum sejati sama sekali tidaklah bembah. Hukum-hukum itu bersumber dari satu-satunya fondasi sejati dan hakiki dari kehidupan di dunia ini dan akhirat nanti.

Kaum mutrafin sering kali berkumpul untuk menentukan nasib jutaan orang di dunia yang hidupnya pas-pasan ini. Orang-orang kaya dan berada mendiskusikan nestapa orang-orang miskin di dunia ini secara akademis dan abstrak. Ketika kebudayaan-kebudayaan berteknologi tinggi mempelajari berbagai cara dan sarana untuk membantu orang-orang miskin, yang demikian itu dilakukan lebih karena kepentingan pribadi, dan bukan karena rasa keadilan dan pemerataan. Mereka menaruh kepedulian pada kemiskinan. Sebab, jika kemiskinan sudah merajalela, maka besar kemungkinan akan teijadi revolusi dan hilangnya pasar potensial. Untuk menstabilkan situasi, mereka memberi bantuan kepada orang-orang miskin di Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Afrika. Alquran mengatakan, "Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar" (QS 56:46). Kaum mutrafin terus-menerus melanggar hukum Allah.

47. Dan mereka selalu mengatakan, "Apakah bila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?"
48. Apakah juga bapak-bapak kami terdahulu (akan dibangkit kembali)?
Orang-orang yang mengingkari akhirat mengira bahwa kehidupan ini adalah segala-galanya. Oleh karena itu, mereka ingin meraup segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenangan sensual dan inderawi. Ada dua sikap pada akhirat. Sikap pertama meyakini bahwa dunia ini bukanlah akhir, melainkan barulah sebuah awal menuju dunia abadi. Para penghuninya menganut keyakinan ini hingga mereka mengetahuinya secara langsung nanti.

Mereka adalah orang-orang mukmin. Seorang manusia yang beriman memandang kehidupan ini sebagai medan latihan untuk memasuki zona nir-waktu. Sikap kedua pada alam akhirat dianut oleh seorang yang tidak beriman. Ia serakah karena hanya kehidupan ini sajalah yang berarti bagi dirinya. Ia menjadi sangat tamak. Ia tidak berusaha memperoleh berbagai kualifikasi atau sifat yang diperlukan untuk masuk surga dengan mengasah kesadarannya, dan meningkatkan kebahagiaan, kepasrahan dan kebebasannya. Ia diprogram untuk meraih kebebasan, tetapi ia mencarinya dalam dunia fisik. Ini adalah sebuah penyimpangan. Menurut watak alaminya, manusia adalah sang pencari. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa kehidupan ini adalah titik akhir, maka motivasi tindakannya hanya mementingkan sebuah dimensi yang menimbulkan kekacauan saja. Inilah perbedaan antara orang beriman dan orang kafir.

Kekafiran manusia pada akhirat pun mengejawantah dalam keserakahan dan sifat agresifnya. Dewasa ini, menjadi agresif dan ambisius sangatlah dikehendaki dan diinginkan. Di masa lalu, jika seseorang memiliki sifat agresif dan ambisius, maka ia akan dicemooh. Sekarang ini, "ambisius" dan "agresif' berarti bahwa ia adalah calon pertama yang akan dipekerjakan.
Dalam diri setiap manusia ada kerinduan untuk hidup abadi selamanya. Akan tetapi, ia tidak merenungkan bahwa kerinduan ini berasal dari Allah yang memancar dalam dirinya dan memberitahunya agar kembali kepada sumbernya. Inilah isyarat terus-menerus dari hati yang mengandung makna keabadian. Kebaikan apa pun yang dilakukan seseorang, ia akan ingin terus mempertahankannya. Seruan dari Allah berasal dari dalam, untuk mengetahui makna keabadian, karena Allah Mahaabadi. Yang ada hanyalah Dia, lâ huwa illâ hû (secara harfiah: tidak ada dia selain Dia). Hanya saja, sayangnya, makna ini terlewatkan, dan pancaran cahaya itu pun meredup.

Dunia memang menarik dan memikat. Begitu Anda menceburkan seujung jari saja ke dalamnya, maka Anda akan terseret ke dalam arusnya dan menjadi terbenam seluruhnya. Dewasa ini, manusia tertelan oleh keadaan di mana mereka berada sekarang. Semuanya terperangkap dalam pabrik-pabrik modern berteknologi tinggi yang tidak berbuat apa pun selain mencampakkan mereka sesudah menghamba kerja seumur hidup, terbuang dan ditolak. Orang terbaik di kalangan mereka, pemimpin mereka, mewujud dalam bentuk nama-nama jalan, stadion, dan alun-alun. Budak-budak itu mengikuti berbagai kebiasaan yang sudah lazim, tetapi sang pencari mendobrak berbagai kebiasaan itu dan terbebas dari sistem perbudakan.

49. Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian."
50. Benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.
51. Kemudian sesungguhnya kamu, wahai orang yang sesat lagi mendustakan.
Dalam Alquran, satu hari (yawm) tidaklah berarti dua puluh empat jam. Dikatakan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan seribu tahun dalam kehidupan dunia. Di tempat lain digambarkan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan lima puluh ribu tahun lamanya. Bersama Allah, tidak ada waktu. Waktu bersifat relatif, sebagaimana ditunjukkan dengan fenomena menempuh perjalanan dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. "Orang-orang terdahulu dan terkemudian benar-benar akan dihimpun pada hari tertentu." Ada sebuah tujuan spesifik untuk dunia lahiriah dan dunia batiniah.
Orang-orang kafir terus-menerus berada dalam keadaan merugi. Mereka akan terlempar ke dalam wilayah di luar jangkauan waktu, di mana dimensi waktu lenyap, dan keadaan tegang terus-menerus berlangsung selamanya. Karena mengingkari bahwa kehidupan yang diberikan kepadanya untuk mengagungkan nama Allah yang memberinya kehidupan, orang-orang kafir itu akan merasakan keadaan tanpa istirahat abadi. Dalam keadaan merugi abadi, di dalam api neraka, tidak ada yang tumbuh. Semakin seseorang berusaha untuk menanggung panasnya api, semakin api itu membakarnya.

52. Benar-benar akan memakan pohon zaqqum.
53. Dan akan memenuhi perut(mu) dengannya.
Para penghuni wilayah ini diberi makan dari sesuatu yang pahitnya luar biasa, pohon zaqqum yang tumbuh dari lubang neraka Jahannam tanpa dasar. Ia mengalami tersesat dalam keabadaian seolah-olah ia memenuhi perutnya dengan kepahitan luar biasa. Ia minum tanpa terpuaskan haus dan dahaganya.

54. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.
55. Maka kamu minum seperti minumnya unta yang sangat kehausan.
56. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan.
Air digunakan untuk menghilangkan dan mengurangi panas dan merupakan salah satu unsur yang berusaha menegakkan keseimbangan. Unsur-unsur itu adalah: basah, kering, panas, dan dingin. Jika seseorang terialu panas, maka ia akan pergi menuju tempat yang dingin. Bila terlalu kering, ia akan bergerak menuju yang basah. Manusia selalu mencari keseimbangan. Segala sesuatu dijaga keseimbangannya oleh Zat Yang Mahaesa. Akan tetapi, pada hari yang ditentukan itu, berbagai karakteristik dari unsur-unsur yang berfungsi sebagai penyetara dalam dunia fisik itu tidak lagi berlaku. Kata hîm berarti unta yang kehausan. Kata ini berkaitan dengan hâ'im, yang bermakna kebingungan. Dalam kehidupan ini, manusia menyibukkan diri dengan apa yang dipandangnya penting dan yang tanpanya ia merasa tidak akan bahagia. Ia melecehkan dirinya sendiri dan juga alam dengan konsumsi yang kelewat berlebihan.
Gambaran tentang kesengsaraan "golongan kiri" adalah berada dalam neraka Jahannam. Salah satu turunan kata dari Jahannam adalah jahnîm, lubang tak berdasar, keadaan tanpa gravitasi, di mana seseorang mendapatkan kabar buruk bahwa sesuatu yang disayanginya tidak lagi bersamanya. Bayangkan seseorang yang tiba-tiba diberi kabar tentang banyaknya bencana yang menimpanya, bahwa segala sesuatu yang disimpan, dicintai, dan dianggapnya penting telah lenyap—itulah jahnîm.

Manusia menginginkan istiqrâr, yakni keajegan, stabilitas, dan keamanan. Dalam bahasa Arab, orang mengetahui Arab bahwa sebuah kata berkaitan dengan kata-kata lainnya melalui akar katanya. Kata-kata ini melahirkan banyak variasi, menjelaskan, dan memberikan makna lebih dalam pada kata semula. Istaqarra (bentuk verbal dari istiqrâr) berarti mencari keamanan atau tempat tinggal permanen. Iqrâr adalah fondasi atau ketetapan, dan qarrara bermakna memutuskan, melaporkan, atau menuturkan. Seluruh kata ini berasal dari akar kata yang sama, qarra, yang berarti menetap, menentukan atau menyelesaikan.
Jika seseorang menempuh jalan kebenaran, maka ia mestilah mengakui bahwa ia Akhirnya akan selamat. Sebab, bagaimana mungkin ia bisa mencari asal-usul sesuatu yang belum ada dalam dirinya?
Fakta bahwa manusia mencari rasa aman membuktikan bahwa asal-usul atau esensinya ada dalam rasa aman. Akan tetapi, ia mencarinya di tempat lain dalam ghaflah (kelalaian, kejahilan). Ia mengira bahwa rasa amannya terletak pada diri kawan ini atau pada pekerjaan itu— itulah ghaflah. Fakta bahwa ia mencari keamanan berarti bahwa keamanan tidak dapat dicapai begitu saja.

Ada sebuah cerita tentang seseorang yang pada suatu malam kehilangan cincin dan mencarinya di bawah cahaya lampu jalanan. Setelah beberapa lama, sewaktu ada banyak orang yang ikut membantu mencarinya, tak ada tanda-tanda bahwa cincin itu akan ditemukan. Akhirnya, salah seorang bertanya kepadanya ihwal di mana ia kehilangan cincin itu, yang kemudian dijawabnya, "Aku kehilangan cincin itu di sana," jawabnya sambil menunjuk rumahnya. "Lalu, mengapa kita tidak mencarinya di sana?" tanya orang yang membantu mencarinya itu dengan kaget. Sang pemilik cincin menjawab, "Karena di sana tidak ada cahaya lampu." Manusia sering mencari di tempat yang nyaman baginya untuk mencari. la tidak berusaha mencari di mana kebenaran berada. Inilah sifat manusia.

57. Kami telah menciptakanmu. Maka, mengapa kamu tidak membenarkan (hari kebangkitan)?
58. Maka, terangkanlah tentang nutfah yang kamu pancarkan.
59. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?
Keberadaan manusia di dunia ini bukanlah sebuah kebetulan. Keberadaannya mempunyai tujuan. Kebetulan adalah suatu gambaran yang digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan memahami suatu situasi. Manusia telah diciptakan. Mengapa ia tidak bisa menegaskan hal itu? Mengapa ia tidak bisa menerima hal ini sebagai benar adanya? Kata tushaddiqun berasal dari kata sbaddaqa, yang berarti memandang sebagai benar.

60. Kami telah menentukan kematian di antaramu, dan Kami sama sekali tidak bisa dikalahkan.
61. Untuk menggantikanmu dengan orang-orang seperti kamu (di dunia) dan menciptakanmu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.
62. Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama. Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
"Kami telah menentukan kematian di antaramu, dan Kami sarna sekali tidak bisa dikalahkan." Kematian (mawt) adalah peristiwa diskontinuitas yang nyata, sebuah perpisahan di jalan. Akan tetapi, manusia tidak bisa mengalami perpisahan kecuali bila secara fitrah ia memiliki pengalaman tentang kebersamaan. Entitas halus dalam dirinya berpisah dengan entitas kasamya, dan perpisahan ini dialami sebagai peristiwa kematian. Dalam perpisahan juga ada penyatuan. Tubuh menyatu dengan asal-usulnya, unsurnya. Tubuh akan kembali ke tanah. Ruh atau jiwa akan kembali ke tempat asalnya berdasarkan perintah sang Pencipta Yang Mahaesa dan Maha Meliputi segala sesuatu. Kata qadr, yang berasal dari kata qadara, bermakna apa yang telah ditentukan, ditetapkan, atau dikadarkan. Segala sesuatu mempunyai kadar atau ukuran masing-masing.

Manakala suatu kebudayaan bersifat terbuka, dengan secara spontan dan murni membiarkan diri dipengaruhi oleh berbagai unsur lainnya, barulah ia pun bisa tumbuh, menyesuaikan diri, dan sesuai secara keseluruhan. Maka, ia pantas mengemban amanat sebagai puncak tertinggi ciptaan. Bila tidak demikian, kebudayaan itu akan tergusur dan digantikan oleh yang lain. Kebudayaan datang dan pergi. Tidak bisa diragukan lagi bahwa ada unsur "siapa kuat, ia mampu bertahan hidup" (the survival of the fittest) dalam setiap aspek kehidupan. Manusia dibawa ke sini dalam keadaan yang tampak temoda dan sangat mungkin tenggelam dalam kehinaan karena adanya keseimbangan antara jiwa dan raga. Ia akan dibentuk lagi di mana bahan konstruksinya tidak bersifat fisik. Siklus berikutnya dalam kebangkitan kesadaran berdasarkan materi yang sulit dipahami oleh manusia—karena diciptakan dari tanah liat—kecuali dengan imajinasi. Manusia bagaikan tawanan yang pandangannya hanya seluas jeruji-jeruji jendela sel penjaranya. Jika ia menggunakan kemampuan nalar dan hatinya, maka ia bisa membayangkan bahwa apa yang ia lihat di hadapannya pastilah juga terjadi di tempat lain. Dengan menggunakan persepsi ini, manusia dapat memahami alam akhirat.

Dengan memahami pertumbuhan pertama, manusia mengetahui bahwa, secara biologis, ia berasal dari zat lendir atau nutfah yang rendah. Ia mengetahui dalam relung hatinya—bila hatinya memang berbolak-balik (qalb)— bahwa akar kehidupan tidaklah dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, melainkan merupakan sumber yang permanen dan tak terkontaminasi. Allah menyeru manusia untuk melihat dan memahami bahwa dalam dirinya bersemayam pengetahuan tentang evolusinya, dan bahwa evolusi, sekalipun sudah mengejawantah dalam waktu sekarang, pastilah berakar dalam wilayah pra-penciptaan. Manusia sudah direncanakan sejak sebelum penciptaan. Ia adalah manifestasi atau pengejawantahan dari potensi. Dalam Alquran, Allah mengingatkan manusia tentang waktu ketika ia masih belum ada dan masih berupa energi potensial.

63. Maka, terangkanlah tentang apa yang kamu tanam.
64. Kamukah yang menumbuhkannya, atau Kamikah yang menumbuhkannya?
65. Bila Kami kehendaki, Kami benar-benar bisa menjadikannya kering dan hancur. Maka kamu pun menjadi heran tercengang.
66. (Sambil berkata), "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian."
"Maka, terangkanlah tentang apa yang kamu tanam." Manusia hanyalah sebuah instrumen untuk menyemaikan benih, entah benih manusia atau benih tetumbuhan. Manusia hanyalah seorang aktor. Ia tidaklah menulis skenario atau punya kemungkinan untuk mengubah hukum-hukum yang mengaturnya. Satu-satunya kadar kebebasan yang dimilikinya adalah kebebasan memainkan perannya dengan baik. Jika seseorang melihat seorang aktor yang benar-benar baik dan sempurna, maka ia yakin bahwa sang aktor itu pun betul-betul menjiwai perannya. Ia telah menyatukan kehendaknya dengan takdir. Inilah sebuah aspek tauhid; ia betul-betul menyatu dengan perannya. Dari sudut pandang Tuhan Yang Mahabenar, ia tidak terpisah, sekalipun ia membayangkan dirinya terpisah. Jika tindakan Anda ikhlas dan baik, maka tidak ada lagi hambatan antara kehendak Anda dengan apa yang hendak Anda lakukan. Sebab, tindakan itu dilakukan untuk Allah, oleh Allah, dan dalam Allah. Inilah berkah, efisiensi Ilahi. Inilah keselarasan, keseimbangan, dan kewarasan.

Manusia bukanlah penyebab berbagai peristiwa. Ia hanya sekadar sebuah instrumen dalam sebuah orkestra. Manusia dapat bergerak, karena ada kehidupan di dalam dirinya. Ia tidak mendatangkan kehidupan kepada dirinya. Ia hanya sebuah saluran. Jika seseorang betul-betul bergantung pada pengetahuan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penjaga, maka ia akan betul-betul mengetahui bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah (lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh). Entitas yang sama sekali tidak terpisah dari diri manusia.
Jika Allah menghendaki, maka berbagai amal perbuatan yang mungkin dibangga-banggakan oleh manusia boleh jadi bakal dihancurkan. Sudah menjadi sifat dan watak manusia bahwa, karena kesombongan dan keangkuhannya, ia akan menganggap enteng dan remeh apa yang sesungguhnya merupakan kehendak Allah.

67. Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak memperoleh hasil apa pun.
Alquran membawa orang yang membacanya menuju masa kini, menuju kehidupan akhirat, dan menuju apa yang sudah mendahului kehidupan. la adalah pemersatu yang bergerak hilir-mudik dan bolak-balik dalam dimensi waktu.
"(Sambil berkata), 'Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian.'" Kata gharama berarti membayar denda. Dalam kehidupan fisik, manusia mencukupi dirinya dengan sumber makanan yang salah dan kini ia dihukum. Kata benda gharâm bermakna kegila-gilaan atau kegandrungan. Ketika terjadi hari kiamat, sewaktu tidak ada lagi keangkuhan dan kesombongan, manusia betul-betul dalam keadaan terobsesi dan kegandrungan. Tidak ada kemungkinan untuk membenarkan seluruh tindakannya sebelumnya. Jika seseorang mengira bahwa ia berada dalam penjara sekarang, maka bagaimana dengan nanti? Tidak ada suatu tindakan pun yang bisa diperbaiki pada waktu itu.

68. Maka, terangkanlah tentang air yang kamu minum.
69. Kamukah yang menurunkannya dari awan, atau Kamikah yang menurunkannya?
70. Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami menjadikannya asin. Maka, mengapakah kamu tidak bersyukur?
Perhatikan air yang Anda minum. Jika Allah menghendaki, maka seluruh air di dunia bisa saja habis. Tuhan Yang Mahabenar menantang manusia dengan memberikan rahmat dan keseimbangan penciptaan. Dengan mengubah satu faktor, seluruh susunan penciptaan akan berbeda; susunan itu tidak akan sesuai dengan makhluk hidup di muka bumi. Menerima begitu saja apa yang telah Allah berikan adalah kesombongan.

71. Maka terangkanlah tentang api yang kamu nyalakan.
72. Kamukah yang menciptakan kayu (bakar)nya, atau Kamikah yang menjadikannya?
Kata syajar berarti pohon. Dalam kebudayaan Islam, pohon secara tradisional melambangkan pohon kehidupan; segenap rantingnya melambangkan seluruh aspek penciptaan yang berkaitan dengan sebuah batang yang akarnya—yang memberikan zat-zat makanan ke seluruh pohon—menghunjam ke dalam tanah. Apakah manusia mengetahui akar kehidupan? Apakah ia mengetahui maknanya? Apakah ia yang telah menciptakannya? Apakah ia yang telah menciptakan api? Yang perlu dilakukannya adalah menggosok dua ranting kayu berbarengan untuk memperoleh percikan bunga api; sebenarnya, ia tidak melakukan apa pun. Ia hanya sekadar mengalami—Allah sajalah sang Pencipta (munsyi'). Asal-usul kehidupan ada pada satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar, pemilik segala sesuatu.

73. Kami menjadikan api itu sebagai peringatan dan harta yang berguna orang-orang yang bepergian di padang pasir.
74. Maka bertasbihlah kamu dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung.
Kata tadzkirah berasal dari dzikr, yang bermakna mengingat, kesadaran, dan sebuah jalan lorong. Dalam bahasa Arab modern, tadzkirah berarti tiket. Ini dimaksudkan untuk mengingatkan siapa saja yang menghentikan Anda di pintu gerbang bahwa Anda sebenarnya sudah diperbolehkan masuk ke dalam situasi berikutnya. Inilah persyaratan untuk masuk dengan mengingatkan sang pemeriksa karcis atau tiket.

Kata sandi untuk memasuki pintu kejayaan adalah Nama (ism). Di pintu, sewaktu sedang diterima, Nama itu harus disebutkan. Seseorang yang shidq, orang yang benar, berkata, "Allah, atau Tuhanku." Diriwayatkan dalam banyak hadis bahwa ketika ayat, "Maka bertasbihlah kamu dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung" turun kepada Nabi Muhammad saw., beliau menjadikannya sebagai jalan ibadah. Beliau meminta kaum muslim untuk mengucapkan, "Subhana rabbi al-'azhim wa bihamdih" sewaktu mereka mengerjakan rukuk, karena seseorang melakukan rukuk sesudah berdiri dan menyaksikan kehidupan ini, kehidupan akhirat, api neraka, surga, dan asal-usul. Siapa pun yang memuji satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar pastilah akan didengar, karena Tuhan Yang Mahabenar adalah Maha Mengetahui. Sesudah melakukan hal itu, seseorang akan merasa hina dan tidak berarti. Ketika seseorang berada dalam perasaan rendah, barulah ia bisa berbicara tentang Yang Mahatinggi (al-A'la)— subhana rabbi al-a'lâ wa bihamdih. Dalam keadaan tidak berarti itu, mata lahiriah tidak lagi berfungsi. Mata batiniah mampu melihat keagungan Zat Yang Mahatinggi, Mahaagung.

75. Maka Aku bersumpah dengan tempat jatuhnya bintang-bintang.
76. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.
"Maka Aku bersumpah dengan tempat jatuhnya bintang-bintang" berarti bahwa Aku bersumpah dengan kebenarannya, tempat kebenaran itu. Kata mawaqi' (posisi, tempat jatuhnya sesuatu) berasal dari kata waqa’a yang berarti jatuh. Nujum adalah bintang, atau sesuatu yang bercahaya—Aku bersumpah dengan cahaya, cahaya risalah ini yang bersinar, pijaran kebenaran yang menyala di hati kaum mukmin. Buktinya adalah bahwa risalah itu menekan tombol yang tepat dan benar dalam hati dan menyalakannya. Setiap orang adalah bintang—berbeda tetapi juga sama. Inilah ikrar kebenaran tentang realitas fisik. Inilah ikrar yang membuktikan kesempurnaan berbagai posisi dari segala sesuatu dalam ciptaan ini. Posisi tetap dari bintang-bintang adalah manifestasi dari tatanan alam semesta. Sesungguhnyalah, posisi-posisi tetap ini bersifat dinamis. Posisi-posisi ini tidaklah kaku, melainkan berinteraksi dengan lingkungannya.

77. Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia.
78. Dalam kitab yang terpelihara.
Alquran sangat layak dan pantas dibaca. Kitab ini adalah sesuatu yang telah dihimpun dan dikumpulkan—pengungkapan tentang Tuhan Yang Mahabenar. Kitab ini meliputi dan mencakup apa yang bisa dialami dan dipahami tentang Tuhan Yang Mahabenar. Alquran sangat berguna dalam mengajari manusia untuk menempuh hidup lurus, harmonis, dan bahagia.
Alquran tidak bisa dihampiri atau dipahami bila didekati melalui batas-batas dualitas. Jika pembacanya dibebani dengan dualitas, penuh dengan ketidakpasrahan, maka Alquran pun terhijab baginya. Sebagai pengungkapan murni tentang zat Yang Mahahakiki, Alquran hanya bisa mencerminkan tingkat kemurnian hati pembacanya.

79. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Alquran sangat halus dan lembut. Kitab ini mengandung apa yang bisa dibayangkan oleh manusia dan bahkan lebih dari itu. Karena itu, bagaimana seseorang bisa menyentuhnya? Seseorang hanya bisa mengetahui kitab ini bila ia berhenti mengetahui sesuatu yang lainnya dan, dengan kepasrahan menyeluruh, tenggelam dalam Alquran—yang ada hanyalah Alquran. Inilah esensi dari makna Islam.

Dalam situasi eksistensial ada dualitas. Pengetahuan dan informasi eksistensial berpijak pada sang pencari dan sesuatu yang dicari. Sesuatu yang memiliki domain tertentu, seperti bahasa, bisa dikuasai. Inilah pengetahuan eksistensial dan bersifat informatif. Pengetahuan ini didasarkan pada waktu, kapasitas berpikir, dan kesabaran. Akan tetapi, pengetahuan ihwal Kebenaran tidak bisa diperoleh dengan cara ini. Pengetahuan itu hanya bisa diraih dengan membiarkannya muncul, karena sebetulnya ia sudah ada dan bersemayam dalam hati. Pengetahuan tentang kebenaran tidak akan tumbuh subur bila manusia lebih menghargai yang lainnya. Energi manusia telah teralihkan kepada yang lain, kepada materi, sementara pengetahuan tentang Kitab suci dalam diri tidak disimak dengan cermat. Kebenaran adalah substrata dari eksistensi, dan kebenaran sangat memperhatikan peristiwa di alam semesta yang dialami manusia dalam kehidupan singkatnya ini.

80. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Allah adalah Tuhan dua alam, alam fisik dan alam non-fisik—dunia yang dialami manusia ini, dan akhirat di mana ia tunduk pada akibat-akibat dari segenap niatnya di alam sebelumnya. Manusia akan mengalami dan menjadi apa yang diniatkannya, tidak lebih dari itu. Di dunia ini, yang kasar mengalahkan yang lembut, sementara di akhirat yang lembut menjadi jelas, dan segala sesuatu yaftg tadinya tersembunyi di dalam hati seseorang menjadi sebuah buku yang terbuka lebar (shuhuf munasysyarah).

81. Maka, apakah kamu menganggap remeh tuturan Alquran ini?
82. Dan kamu menggantikan rezeki (yang diberikan kepadamu) dengan mendustakan (Allah).
Kisah dunia material ini dan akhirat dalam kehidupan ini dan berikutnya adalah tentang penyucian. Manusia bisa diibaratkan air yang sifatnya bening. Sewaktu mengalir, air membawa butiran-butiran pasir. Ketika air disaring dalam sebuah saringan, pasir itu pun mengendap dan air itu kembali menjadi bening. Jika air terus-menerus diobok-obok sehingga menjadi keruh dan kotor, maka seluruh ekologi kehidupan dalam air bakal hancur. Seperti air, manusia mesti menyaring diri agar mereka bisa menyadari tindakan mereka yang salah dan kemudian menghindarinya. Bila tidak demikian, lingkungan individual dan kemasyarakatan mereka bakal terganggu dan hancur. Saringannya adalah intelek atau akal.
Sewaktu kesunyian mutlak yang abadi dipecahkan oleh munculnya ciptaan, terdengar sebuah nada. Nyanyian keimanan adalah Alquran dan terus-menerus diperdengarkan sebagaimana halnya pertumbuhan pun bergerak terus secara biologis. Jika kita tidak mendengarkan nyanyian keimanan, maka kita akan mendengarkan yang lain. Jika manusia mendengarkan selain Alquran, maka ia akan meninggalkan Alquran, karena manusia menginginkan keselarasan, bukan kekacauan. Sebuah alat penerima gelombang tidak dapat menangkap dua sinyal sekaligus. Demikian pula, sifat manusia adalah mendengarkan satu gelombang, bukan dua.

83. Maka, mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan?
84. Padahal kamu waktu itu melihat.
85. Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.
Begitu manusia bersikukuh pada kekafiran, ia akan tetap berada di dalamnya. Ia berpegang teguh pada apa yang dihargai dan diinvestasikannya. Ketika hidupnya berakhir, nyawanya pun sampai di kerongkongan, dan ia pun temganga. Allah lalu berfirman, "Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat." Anda belum memfokuskan visi Anda semasa hidup pada sesuatu yang pantas dilihat. Kebenaran yang meliputi seluruh manifestasi atau pengejawantahan lebih dekat daripada kedekatan itu sendiri. Inilah makna dari pemyataan Allah. Kekuatan luhur yang mendasari seluruh kekuatan yang tampak itu lebih dekat dengan sang sumber, lebih dekat dengan Allah.

86. Maka, mengapa jika kamu tidak berutang (kepada Allah)?
87. Kamu tidak mengembalikannya bila kamu memang termasuk dalam golongan orang-orang yang benar?
Kata dayn, yang bermakna utang, adalah satu sisi dari keseimbangan. Jika seseorang menganggap dirinya berutang, maka ia tentu akan berusaha melunasinya dengan benar. Jika Anda menganggap diri Anda berutang kepada Tuhan Yang Mahabenar, maka Anda akan melunasi utang itu. Seluruh kehidupan didasarkan pada utang yang pernah ditanyakan oleh Imam Ja'far ash-Shadiq a.s. tentang bagaimana cara melunasinya. Mustahil dan tidaklah mungkin melunasinya. Umpamanya saja, andaikan Anda merasakan kebahagiaan disebabkan oleh suatu momen bahagia dan ingin bersyukur atas kebahagiaan Anda itu. Ketika Anda menyadari rasa syukur Anda, maka Anda pun mengetahui bahwa Anda harus bersyukur karena mampu bersyukur, dan terus-menerus bersyukur, seperti pantulan tak terhingga dua cermin yang berhadapan satu sama lain. Inilah makna sebenarnya, bahwa selalu saja muncul kesa-daran tentang kemustahilan dan ketidakmungkinan melunasi utang itu. Inilah anugerah tak terbatas, dan manusia pun menyia-nyiakannya.

"Jika kamu tidak berutang (kepada Allah)" adalah sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Perhatikan kehidupan Anda dan bagaunana kehidupan itu lenyap. Di manakah kontrol yang menurut manusia dimilikinya? Imam 'Ali Zainal Abidin a.s. berkata, "Seorang mukmin sejati meninggal dunia seolah-olah ia telah menanggalkan pakaian kotornya." Akan tetapi, seorang yang tidak beriman dan hanya memikirkan dunia telah merobek-robek pakaian kehidupan dan tercerabut dari hakikat keberadaannya ketika ia berusaha tetap bersikeras dalam keingkarannya.

"Lalu mengapa jika kamu tidak bemtang (kepada Allah)? Kamu tidak mengembalikannya bila kamu memang termasuk dalam golongan orang-orang yang benar." Jika Anda tidak bemtang, jika Anda tidak merasa berada di bawah kendali mutlak Tuhan Anda, lantas mengapa Anda tidak mengembalikan kematian ketika ia datang? Ketika mendengar bahwa seseorang telah meninggal dunia, seorang mukmin mengatakan, "Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah." Manusia hanya memiliki kekuatan relatif selama masa kehidupannya yang singkat.
Sang pencari sejati kebenaran akan tersentuh bila mendengar ada seseorang yang meninggal dunia, karena ia mengetahui bahwa kematian adalah pintu menuju pengalaman berikutnya. Seorang yang beriman akan bahagia, karena orang mati terbebas dari kebmgungan dualitas kehidupan. Kini ia memiliki pengetahuan yang pasti. Sang pencari sejati bergembira bukan karena orang yang meninggal dunia itu sudah hancur—sebab yang hancur hanyalah tulang dan daging saja, sementara ruh terus hidup. Sang pencari sejati tertarik pada ilmu pengetahuan. Ketika seorang bayi lahir, sang pencari sejati akan menangis, karena ia mengetahui apa yang akan dialami oleh makhluk yang baru lahir ini.

88. Adapun jika ia termasuk dalam golongan orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
89. Maka ia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.
"Adapun bila ia terrnasuk dalam golongan orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)." Manusia tidak mengetahui Tuhan Yang Mahabenar. Ia tidak mengetahui jalan menuju Tuhan Yang Mahabenar, karena ia mungkin tidak menemukan jalan menuju Tuhan Yang Mahabenar. Akan tetapi, ia mungkin mengetahui apa saja yang bukan Tuhan Yang Mahabenar. Ia mengetahui jalan-jalan yang menjauhkannya dari Tuhan Yang Mahabenar. Dengan menempuh jalan-jalan itu, seseorang akan bisa tiba di satu-satunya jalan sejati, satu-satunya jalan menuju tauhid. Kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dari seseorang yang dekat dengan Allah adalah kehidupan penuh kenyamanan dan kenikmatan (na'im), yakni surga (jannah). Di dalamnya, ia melihat segala sesuatu dengan tauhid dan tidak tunduk pada berbagai perubahan pengalaman.
Nabi 'Isa a.s. bersabda, "Aku tengah mencari-cari umatku ketika tiba-tiba aku menjumpai orang-orang yang takut pada api neraka. Aku memberitahu mereka, 'Kalian akan beroleh keuntungan dengan perdagangan kalian, tetapi bukan itu yang aku cari.' Kemudia, aku berjumpa dengan orang-orang yang berdoa memohon surga. Kukatakan kepada mereka, 'Kalian akan mendapatkannya, tetapi bukan itu yang aku cari.' Lalu, aku berjumpa dengan orang-orang yang ikhlas dan tulus dalam beribadah, dengan kesadaran penuh, dan kekhidmatan sempurna, dan kukatakan kepada mereka, 'Kalianlah umatku.'"

Jika Anda menginginkan Allah, maka api neraka dan surga hanyalah langkah-langkah menuju kepada-Nya. Dalam Alquran, dijumpai ada gambaran tentang berbagai tingkatan surga dan neraka. Tingkatan terakhir surga adalah di mana tidak ada suara sama sekali dan tak ada sesuatu pun terdengar. "Mereka tidak akan mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia atau ataupun ucapan-ucapan yang menimbulkan dosa, kecuali ucapan salam atau kedamaian." Jika kata-kata yang terdengar di dalam surga, maka kata-kata itu adalah ucapan salam. Kedamaian (salâm) adalah suatu keadaan kesadaran murni. Apa yang terjadi dalam tingkatan surga yang lebih rendah adalah negasi, atau netralisasi, atas berbagai hasrat karena semua-nya itu itu telah dipenuhi agar seseorang bisa melampauinya menuju keheningan hakiki, menuju esensi atau hakikat.

90. Dan adapun jika ia termasuk dalam golongan kanan.
91. Maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.
Surah ini adalah tentang berbagai keadaan berbeda yang mungkin dialami manusia sesuai dengan tingkatan tauhidnya. Orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-muqarrabun) akan jauh dari selain diri-Nya dan, karena itu, dekat dengan-Nya.

Golongan kanan adalah orang-orang saleh, mereka yang bertindak secara cermat. Sebagian penafsir Alquran (mufassir) menggambarkan golongan kanan (ashhâb al-yamin) sebagai ashhâb al-mujâhadah, yakni orang-orang yang berjihad, orang-orang yang terus-menerus berjuang dan bersabar dalam menanggung penderitaan mereka. Akan ada kedamaian bagi mereka, meskipun mereka berada dalam cobaan dan kegelisahan. Kehidupan ini adalah gudang cobaan dan penderitaan. Akan tetapi, jika cobaan itu dijalani di atas jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw., maka ia akan terasa ringan dan bisa ditanggung. Bila tidak demikian, seorang yang waras hanya bisa melompat dari jendela dan terang-terangan menyatakan bahwa eksistensi dirinya sama sekali tidak bisa dipahami. Kehidupan ini adalah tempat cobaan dan kesulitan di mana pembangkangan atas rahmat Allah dihapuskan. Manusia tidak punya pilihan kecuali harus berjihad.

92. Dan adapun jika ia termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan lagi sesat.
93. Maka ia mendapat hidangan air yang mendidih.
94. Dan dibakar di dalam neraka.
"Dan adapun jika ia termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan lagi sesat" berarti: jika ia telah mengingkari satu-satunya Kebenaran, jika ia mendustakan tauhid. Orang seperti itu dihitung termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan dan sesat (mukadzdzibîn adh-dhâllin). Pertama, ia berdusta, dengan mengingkari apa yang sebetulnya dipandang benar oleh hatinya. Jika manusia mengingkari rasa utang budinya kepada AUah, maka ia akan berada dalam kerugian.

"Maka ia mendapat hidangan air yang mendidih." Manusia bisa minum air panas mendidih di dunia ini dan di akhirat nanti. Ketika seseorang merasa sangat marah dan gelisah, maka segala upaya dan usaha untuk melenyapkan amarah itu akan ditolak dan hanya akan semakin menyulut emosinya saja. Hujan rahmat yang sejuk tidak disadarinya dan, karenanya itu, terasa panas bagaikan air mendidih. Api lahiriah dapat dicegah agar tidak semakin meluas dan diketahui batas-batasnya. Sementara itu, api batiniah seperti hasrat, nafsu, rasa takut, dan amarah tidaklah berbatas. Manusia sendiri adalah pohon yang memberi kayu bagi api. Keadaan puncak kaum mukadzdzibîn pun menjadi nuzulun min hamim. Rumah mereka adalah air yang mendidih, api neraka. Mereka tinggal dalam jahim, neraka yang memanggang.

95. Sesungguhnya (yang dituturkan) ini adalah suatu keyakinan yang benar.
96. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tubanmu Yang Maha Agung.
"Sesungguhnya (yang dituturkan) ini adalah suatu keyakinan yang benar." Seseorang akan memasuki kehidupan akhirat dengan membawa segenap amalnya dalam kehidupan di dunia ini—dan amal-amal itu didasarkan pada niat. Manusia telah membuat kunci neraka atau kunci surga, dan mulai mengalami keadaan-keadaan itu di dunia ini berdasarkan niatnya. Tidak ada diskontinuitas atau keterputusan. Mereka yang telah membuat kunci neraka sebenarnya sudah mengalaminya sekarang. Kehidupan dunia ini berkesinambungan dengan kehidupan akhirat nanti.
Orang yang membuat kunci kebahagiaan, kunci menuju surga, sudah memasuki keadaan itu. Arsip yang sudah digenggamnya berupa ilmu dan amal digunakan untuk melembutkan sisi-sisi kasar dari dirinya, kepribadiannya, berikut segala macam keinginan atau hasratnya. Pada akhirnya, jika ia memang ingin menyirnakan semuanya itu, menjadi sebuah non-entitas, maka ia akan mengenal satu-satunya Wujud hakiki. Semakin ia menegaskan identitasnya, semakin ia kurang mampu melihat Wujud hakiki itu.

Nabi Muhammad saw. bersabda, "Tidak ada dua hati di dalam dada manusia." Jika niat dan maksud seseorang adalah mengenal, maka ia akan mengenal Allah. Dan begitu Anda sudah mengenal Allah, tidak ada masalah lagi dengan yang lainnya. Jika niat Anda hanyalah menjadi kaya, maka Anda akan mendapatkannya dengan segala kesulitan yang ada di dalamnya. Jika Anda menginginkan rumah dan anak-anak, maka Anda juga akan mendapatkannya dengan segala kekecewaan yang ada. Anda tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa juga mendapatkan keba-likannya. Inilah keseimbangan. Alquran menyebutnya al-mîzân (keseimbangan), dan hukum-hukum yang mengatur kehidupan ini pun berada dalam keadaan seimbang. Kehidupan ini bukanlah kekacauan (chaos), melainkan keteraturan (cosmos)—dalam keseimbangan sempurna.

Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib a.s., pernah mengatakan bahwa hal pertama yang dilihat oleh manusia yang beriman dan pasrah adalah pandangan sekilas tentang Tuhan Yang Mahabenar, yang selama ini ia ingin beroleh keyakinan tentangnya. Keyakinan itu muncul dengan cara mempertanyakan, mempelajari, memahami, dan bergerak di sepanjang jalan, dengan menghayati Alquran. Tahap pertama keyakinan itu adalah seperti diberitahu bahwa ada kebakaran di hutan dan Anda mempercayai kebenaran informasi sang pembawa berita. Ini disebut 'ilm al-yaqîn, pengetahuan yang yakin. Tahap kedua adalah benar-benar melihatnya, menyaksikan kebenaran berita itu. Inilah 'ayn al-yaqîn, inti atau sumber keyakinan. Tahap ketiga adalah haqq al-yaqin, kebenaran keyakinan, yakni benar-benar merasakan panasnya api yang membakar itu. Orang bisa merasakan panasnya api dengan berada di dekatnya atau karena terbakar oleh api itu. Sama sekali tidak ada keraguan tentang hal itu. Tahap keempat adalah baqq al-haqq, kebenaran yang sebenar-benarnya, yakni ketika seseorang terbakar oleh api itu dan tidak ada sedikit pun yang tersisa.

Lâ huwa illâ hû: Tidak ada sesuatu pun selain Dia. Inilah segel terakhir Kebenaran. Orang terbakar di dalamnya. Setelah segel itu telah terukir, tidak ada seorang pun bisa mengambilnya dari Anda, karena Anda telah membayar utang anda.

Setelah menerima risalah, yang bisa dilakukan seorang mukmin adalah mengagungkan—dengan izin-Nya, dengan masuk melalui pintu itu, dengan nama Allah—kesadaran tertinggi yang meliputi segala sesuatu, kesadaran tentang kehadiran Allah, Tuhan Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Mahaperkasa. Menyebut nama-Nya berarti bahwa seseorang mengabaikan nama-nama lain, label-label lainnya. Seorang mukmin percaya bahwa ia akan memasuki keadaan itu, menuju rumah Allah, menyeru Allah, mengarungi padang kebingungan, menyeru dan menyeru, hingga ia terbangun dan sadar. Lalu, ia menyadari bahwa ia sudah berada di dalam rumah Allah, tetapi ia tidak mengetahui lantaran tertutup oleh imajinasinya sendiri.[]


Share this post to other.



http://sufiroad.blogspot.com/2010/11/sufi-road-surat-al-waqiah-2-tafsir.html

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails